Dengan kasar Sumi menghentak tangan Ahmad dan menudingnya. “Siapa kamu? Aku akan mati sebelum magrib. Aku akan mati dengan iman!”
Tepat setelah Sumi berkata-kata, sebuah sepeda motor meraung-raung dari kejauhan. Ahmad cepat-cepat mendekap Sumi ketika Sumi memalingkan kepalanya ke arah suara motor itu. Sumi meronta. Orang-orang yang lalu-lalang di jalan memelankan kendaraan, menampakkan wajah-wajah yang menyimpan pertanyaan.
Akhirnya toh Ahmad berhasil memulangkan Sumi dengan bantuan dua orang yang menghentikan perjalanan dan menawarkan bantuan. Dan disekaplah Sumi di ruang tengah. Tapi memang, ia bukan lagi Sumi. Karena Sumi pasti tahu siapa nama suaminya, anaknya, dan semua keluarganya.
Detak jam taklagi terdengar. Tergantikan derit amben bambu yang ditiduri perempuan bertubuh Sumi. Ia terus menggerak-gerakkan kakinya.
Tarno masih menunduk. Ia ingat jerit mengerikan sekaligus memilukan perempuan itu petang tadi. Perempuan itu pikir ia dapat mengelabui keluarganya. Setelah bertindak kasar sampai-sampai berkelahi dengan Ahmad, ia berakrab-akrab ria dengan keluarga Sumi, terutama dengan Ahmad. Sekapan diperlonggar. Ketegangan mereda. Kunci pintu-pintu yang menghubungkan ruang tengah dengan ruang lainnya dibuka. Lalu perempuan itu mengelilingi rumahnya, dari satu pintu ke pintu lainnya. Ahmad mengikutinya dari belakang.
“Kenapa sih mesti diikuti?” tanya perempuan itu, kalem.
“Takut kamu tersandung,” jawab Ahmad.
Kemudian ketukan dan panggilan terdengar dari depan pintu. Itu suara bapak Sumi yang baru pulang dari masjid.
Pintu depan dibuka Ahmad. Si bapak masuk.
“Aku mau beli mi ayam.” Secepat kilat perempuan itu berlari ke luar rumah.
Ahmad dan bapaknya kontan mengejar. Ahmad berhasil meraih tangan Sumi dan sebuah lengkingan pilu seketika menidurkan kampung.