Tarno tiba-tiba memiliki keberanian. Ia merasa telah menemukan kuncinya. Lalu didekatinya amben. Dipegangnya kedua tangan Sumi.
“Sum. Biarlah cerita uang satu tas itu. Biarkan. Rejeki kita tidak sama dengan rejeki kyai dan nyaimu. Ikhlaskan, Sum.”
Kening perempuan itu berkerut, membentuk satu garis di antara kedua alisnya. Lalu dia terisak-isak. Bahunya terguncang. “Kenapa tidak ada yang percaya padaku? Dikiranya aku tidak waras. Padahal, di luar sana orang itu sedang menunggu.” Tapi taksetetes pun air keluar dari mata Sumi.
“Siapa, Sum?”
“Orang yang bawa duit seratus juta.”
“Bohong, Sum. Jangan dengarkan bisikan.”
“Aku percaya orang itu. Kamu itu tidak bisa ngasih seratus juta.”
Tarno merasa tertempeleng. “Aku ini memang cuma sopir angkot , Sum. Penghasilanku tidak seberapa. Cuma bisa ngasih kamu makan. Waktu kamu hamil dan ngidam kulkas, aku juga tidak bisa membelikan. Mungkin sebenarnya ini salahku, Sum. Gara-gara aku tidak bisa ngasih kamu banyak uang.”
Tarno ikut menangis.
“Bukakan pintu itu.”
“Jangan, Sum.”