Akhirnya hari yang tak terhindarkan itu tiba. Seandainya bisa memilih, ingin aku melewatkan seluruh hari ini dengan meringkuk di balik selimut. Melupakan sepenuhnya momen ini.
Terdengar langkah kaki Rio, suamiku, menapaki tangga. Berhenti sejenak di depan pintu sebelum memasuki ruang kamar. Disusul oleh derap kaki putraku, Dimas.
Mulanya ia merayap begitu pelan, tetapi saat kita lengah, ia lantas merengkuhmu dengan kecepatan yang mengejutkan. Hari yang tak pernah kuharapkan kedatangannya ini.
Cetak
Kudengar saklar ruang kamarku dinyalakan. Gelap seketika berganti menyilaukan.
Aku berpura-pura terbangun, meski sesungguhnya terjaga sepanjang malam.
Happy birthday to you...Happy birthday to you...
Happy birthday to... Mommy... Wifie ...
      Happy birthday to you.
Kutatap wajah penuh harap mereka. Binar mata keduanya seakan ingin memantulkan kebahagiaanku.
Membawakan kue tart ke ruang kamar pada awal pagi merupakan rutinitas yang semula kusuburkan. Kini ia malah datang menghantuiku.
"Happy birthday Alena." Rio menunduk dan mengecup keningku.
"Make a wish, Ma!" ucap Dimas.
Sebelum kupadamkan nyalanya, mataku menangkap tajam lilin angka dua digit itu. Tubuhku bergidik.
Hanya ada satu permohonan yang bisa terpikirkan olehku saat itu juga. Kuembuskan napas kuat-kuat, memadamkan nyala angka itu seketika. Meninggalkan jejak tipis asap yang menusuk hidungku.
42.
Tahun kematianku.
***
25 Tahun Silam
Â
Sebuah rak buku tinggi berdiri menjulang di hadapan. Kusaksikan sesosok orang berjalan menujunya. Mengambil sebuah buku tebal biru di antara deretan punggung buku yang berbaris di dasar rak. Dengan satu tangan, ia membuka bagian tengah buku itu, lalu menyelipkan secarik amplop di antara lembarannya.
Pagi itu, aku terbangun dengan rasa penasaran yang menggelitik. Rak di dalam mimpiku semalam rasanya cukup familier. Begitu berjalan menuju ruang tengah, mataku seketika tertumbuk pada satu punggung buku yang sangat menonjol. Tepat di lokasi yang sama seperti mimpiku, buku tebal berwarna biru itu bertengger. Sebuah kumpulan majalah kesehatan pekanan yang dibundel. Kutarik punggung buku itu. Saat kubuka secara asal, terjatuhlah secarik amplop putih yang cukup tebal ke lantai.
Buah dari mimpi yang datang pertama, kutemukan amplop berisi lembaran uang. Sepertinya yang menyimpannya sudah lupa.
      "Begitulah Ayahmu, pelit minta ampun. Diam-diam nyimpen duit. Pasti lupa sendiri dia taruh di situ." Ibu mengeluh dengan sewotnya. Sudah lebih dari lima tahun perceraian mereka, hingga kini Ibu masih belum sanggup berkata-kata baik tentangnya. Â
Mimpi kedua lalu datang tanpa jeda. Malam berikutnya.
Pagi hari usai sarapan, aku berkata pada Ibu begitu saja. Memuntahkan mimpi baru semalam yang terasa begitu gamblang. "Ma, nanti akan datang tamu dari jauh." Sambil menyeruput teh panas di cangkirnya, Ibu hanya menatapku tajam seraya mengerutkan dahi. Tak mengerti apa yang kumaksud.
Lalu pada sore hari, perkataanku terbukti. Pamanku, adik Ibu, yang hampir satu dekade tak pernah terdengar kabarnya, tiba-tiba saja datang. Tamu dari jauh. Jauh-jauh dari Kalimantan. Meski kedatangannya kali ini hanya demi mengemis bantuan.
Ibu bertanya-tanya bagaimana aku bisa tahu. Tetapi aku pun tak mampu menjelaskan.
Kemudian mimpi ketiga dan terakhir hadir. Berbeda dari kedua mimpi sebelumnya yang terlihat begitu terang-benderang, kali ini hanya kilasan-kilasan singkat dan buram.
"Kau mimpi aneh apa lagi?" tanya Ibu di meja makan begitu melihatku keluar kamar dengan wajah kusut dan rambut acak-acakan seakan habis ditubruk angin puting beliung. Mimpi ketiga membuatku luar biasa gelisah.
"Selamat ulang tahun ya, Nak," ucap Ibu kemudian. Ah ya, bagaimana mungkin aku lupa.
Mimpi ketiga ini jatuh pada hari kelahiranku yang ke-21. Ingatanku tiba-tiba terpantik. Sudah tiga hari berturut aku mengalami mimpi-mimpi aneh yang terbukti nyata kemudian hari. Sebuah kesadaran merasukiku. Mimpi pertama dan kedua kurasa hanya sebuah isyarat akan kedatangan mimpi ketiga sekaligus terakhir. Mimpi pertama bahkan tak ada gunanya. Nominal uang kertas yang disembunyikan oleh mendiang bapak sudah dinyatakan tak berlaku sebagai alat tukar oleh bank. Begitupun, kabar dari mimpi kedua tak banyak artinya bagi kehidupanku.
Namun mimpi ketiga berbeda. Bila mimpi pertama dan kedua menghadirkan gambar yang begitu gamblang, mimpi ketiga ini hanya berupa kilasan gambar berbagai peristiwa yang kabur. Aku merasa bahwa mimpi itu telah memperkenankanku untuk mengintip garis takdirku sendiri. Inikah pemberian yang sesungguhnya? Sebuah aksi balas budi dari seseorang yang pernah kutolong?
Rasanya, aku masih mencatat peristiwa yang terjadi tiga bulan silam itu. Kuhabiskan sarapan dengan cepat, lalu bergegas kembali ke kamar. Perlahan, kubuka laci meja belajar dan kuambil buku harian yang tersimpan di sana.
***
17 September 2003
Projek tugas lapangan fakultasku sudah berakhir. Kami ditempatkan di desa Mekarwangi selama dua bulan. Benar-benar pengalaman yang tak terlupakan.Â
Tapi ada satu kejadian yang aneh sekali.
Suatu hari karena hujan deras, kami terpaksa menunda pengerjaan tanggul desa. Saat hendak kembali ke balai desa tempat basecamp kami, di tengah jalan, aku bertemu seorang anak laki buta. Dia tampak tersesat dan memintaku untuk menunjukkan kepadanya jalan pulang. Sita, temanku, takut karena jalan rumah yang ditunjuknya cukup jauh dari balai desa. Tapi, aku nggak tega. Nggak sampai hati meninggalkannya.Â
Aku turuti saja panduan lokasi yang diberi anak buta itu. Dengan daun pisang lebar yang memayungi kami dari hujan, aku menuntunnya. Jaraknya cukup jauh. Aku sebenarnya sudah hampir putus asa dan takut ikut nyasar. Sama sekali tak ada sinyal di sana. Tapi baru ketika aku hendak menyerah dan ingin meniti jalan kembali---mungkin aku akan bawa saja dia ikut ke balai desa--anak itu memegangi tanganku kuat. Waktu menatap ke depan, kulihat ada seorang pria dewasa dengan ikat kepala hitam dan pakaian hitam berdiri tepat di depan bukaan jalan kecil. Tampak menunggu entah apa. Di sisi kanan kiri jalan itu ada dua pohon besar yang dahannya saling bertautan.Â
Tak jauh dari bukaan jalan tampak sebuah rumah gubuk. Saat anak di sebelahku menghampiri pemuda berpakaian hitam itu, baru kutahu mungkin anak itulah yang dia tunggu.
Pemuda misterius itu mengucapkan banyak terima kasih kepadaku sebelum aku bertolak pergi.Â
Aku lega sekali. Ketika hendak berjalan kembali, baru kusadari bahwa hujan telah reda. Langit kembali cerah. Kusingkirkan daun pisang yang sedari tadi menaungi kepalaku.
Hal anehnya, begitu aku kembali ke balai desa, Sita menepuk pundakku dan bertanya. "Kamu kemana aja?" Aku bilang habis mengantarkan seorang anak ke rumahnya. Sita lantas berkata bahwa dia sama sekali tidak melihat ada anak yang kubicarakan. "Aku cuma meleng bentar, kamu udah ilang." Aku kaget mendengarnya. Rupanya dia kembali ke basecamp sendiri karena mengira aku sudah lebih dulu pulang meninggalkannya.
Lebih mengherankan lagi, seorang dari reguku yang tinggal menumpangi rumah kepala desa mengatakan bahwa setahunya di desa itu tidak ada anak tuna netra seperti yang kuceritakan. Warga desa itu memang tidak banyak dan mudah saja bagi kepala desa untuk mengenali seluruh warganya. Seorang bocah tuna netra sebagai warganya tentu tak akan luput dari pengenalan. Tetapi aku yakin aku tidak salah lihat.
Sewaktu projek kami di desa itu berakhir, aku ingin kembali mengecek kejadian yang kuyakini. Aku masih ingat kurang lebih rutenya. Tetapi aku tak menemukan keberadaan gubuk itu sama sekali. Padahal aku yakin sekali telah melewati rute yang sama seperti saat hari berhujan itu. Aku ingat dengan penanda jalannya. Ada dua pohon tinggi yang seperti sedang menari bersama. Dahannya bertautan seakan sedang bergandengan tangan.
Tetapi, rumah gubuk itu tidak ada.
Mungkin memang tidak pernah ada.
Aneh banget.
Â
Kututup buku jurnal harianku itu. Melongo sendiri. Tiga bulan telah berlalu sejak peristiwa KKN itu, tetapi aku masih mengingat persis perkataan pemuda di depan pohon itu saat berterima kasih atas bantuanku.
"Hari lahirmu tiga bulan lagi? Maaf aku tidak bisa membalas apa-apa. Hanya sebuah doa tulus yang bisa kupanjatkan."
Perkataan yang sungguh ganjil. Dari mana ia tahu mengenai berita hari kelahiranku? Apakah pemuda itu seorang cenayang? Dan apakah mimpi-mimpi ganjilku menjelang hari ulang tahunku ini sebuah anugerah atau kutukan?
Mungkin waktulah yang akan menjawabnya.
***
Bertahun-tahun dan ribuan purnama telah berlalu sejak peristiwa ganjil itu. Perjalanan nyaris menjemput maut beberapa kali kutemui. Selalu kuhadapi dengan penuh keyakinan bahwa belum waktunya.
Karena mimpiku itu.
Turbulensi parah saat menumpangi pesawat, usus buntu yang nyaris pecah. Dan terakhir, saat persalinanku terpaksa diakhiri.
Kejadian itu tak pernah pudar dari ingatan. Tubuhku yang tergolek di atas brankar, didorong memasuki ruang ICU. Lampu-lampu silau neon menyoroti. Rentetan kilasan gambar dalam mimpiku yang dahulu kabur kini menjadi terang begitu kujalani di kehidupan nyata.
Saat itu dokter harus mengambil prosedur tindakan yang cepat demi menyelamatkan nyawa pasien. Persalinanku harus disegerakan. Aku menganggukkan persetujuan tindakan bedah dengan tenang. Mungkin karena bawah sadarku meyakini satu hal. Belum ajalku. Tetapi ternyata suara tangisan yang kunanti tak kunjung datang. Bayi yang kulahirkan sudah tak bernyawa.
Stillbirth, baru kuketahui istilahnya kemudian. Lama setelah kejadiannya usai.
Kerap kali kusentuh luka yang melintang panjang di perut kempisku. Luka sesar tanpa kelahiran itu. Hanya melahirkan kematian.
***
2024
Di ujung usia ke-42, aku tak pernah merasa sesehat dan sebugar saat ini. Aku semakin meyakini bahwa ramalan mimpi itu meleset kali ini. Ah, memang tak ada gunanya merawat kenangan paranoid dari masa remaja.
Sore itu aku berangkat mengemudikan mobil, hendak menjemput Dimas di sekolahnya.
Tak lama setelah memasuki gerbang sekolah, kulihat Dimas melambai ke arahku di antara kerumunan pelajar. Dengan cepat ia membuka pintu mobil dan menduduki jok sebelahku. Usianya kini lima belas. Meski bukan anak kandungku, aku menyayanginya sepenuhnya. Kalau mau jujur, bahkan dialah yang mendorongku untuk bersedia menerima pinangan dari Rio. Seorang duda yang ditinggal mati sang istri dengan membawa balita berumur tiga tahun.
Ketika mobil meluncur keluar gerbang, entah mengapa, rambut-rambut halus di tengkukku berdiri. Lewat kaca spion, kusaksikan sosok pria yang berdiri di depan gerbang. Entah mengapa, kembali rasa dejavu seakan menyapuku. Penjaga gerbang itu seperti tengah menunggu entah apa.
"Ngapain aja di sekolah hari ini?" tanyaku pada Dimas, mencoba mengalihkan fokusku dari firasat tak enak yang datang sekonyong-konyong.
Dimas hanya menyahut dengan bunyi dengusan pendek. Perhatiannya terpusat sepenuhnya pada layar telepon genggamnya.
"Dim, jangan main hape terus. Ibu tanya."
Saat ia menengok, bukan wajah Dimas yang kusaksikan.
Tetapi wajah anak itu.
Aku takkan pernah bisa melupakannya.
Dua puluh lima tahun telah berlalu, tetapi aku tetap akan mengenali wajah itu di manapun. Â Â Â Â Â Â
Anak yang kutolong waktu itu. Anak tanpa penglihatan itu.
Aku ingat alasan sulit bagiku untuk mengelak permintaannya dari menunjukkannya jalan pulang. Wajahnya dan tatapan matanya yang kosong, sungguh familier. Membuatku sulit berpaling. Mirip dengan wajah diriku di masa kecil.
Hanya sesaat aku melirik pada Dimas, sebelum kembali ke arah jalan. Namun tiba-tiba saja, sebuah kendaraan pick-up oleng dan meluncur cepat ke arah kami.
Kejadiannya hanya sepersekian detik, tetapi segalanya terasa seperti dalam gerak lambat.
Dimas tiba-tiba saja menggenggam kuat lenganku. Cengkeramannya sungguh dingin.
"Ibu, jangan takut. Ada Adam di sini. Temani Ibu terus."
Jantungku seakan berhenti berdetak.
Kini teringat kembali alasan gelombang rasa dejavu yang menyapuku saat menyetir mobil keluar gerbang.
      Pria yang barusan kusaksikan di depan gerbang sekolah adalah sama dengan pemuda yang menunggu di depan gapura pohon kala itu.
"Terima kasih, kau telah mengantarkan Adam pulang. Hanya permohonan doa yang bisa kami ajukan sebagai balasan."
*
"Kau ingin memberinya nama apa?" Rio pernah bertanya seraya mengelus perut besarku. Aku belum pernah mengucapkannya, khawatir pamali. Tetapi sudah sering menuliskannya di secarik kertas. Berulang-ulang.
Adam.
Nahas, beberapa hari kemudian, terjangan mulas hebat kurasakan sebelum diriku terpaksa dilarikan ke rumah sakit. Kusentuh dan kuremas perutku. Tak pernah kurasakan pedih dari kehilangan sebesar ini.
*
Sekelebat rentetan keping-keping adegan dalam hidupku kembali terputar di benak. Kali ini gambarannya lebih jelas.
Inilah jawaban dari mimpi terakhir yang datang dua puluh lima tahun silam. Sekonyong-konyong, segumpal keyakinan datang menenteramkan hatiku.
Rupanya memang mustahil menentang kehendak takdir. Hidup memang sebuah permainan. Namun aku yakin, orang-orang kelak akan mendapati senyum tipis tercetak di wajahku yang kaku dan dingin.
Itu adalah karena apa yang kusaksikan di akhir umurku. Bukan lorong gelap yang akan kutemui. Melainkan sosok yang paling kurindukan. Yang telah menungguku dengan sabar di ujung sana.
Dia, yang takkan pernah lagi tersesat.
Adam. Putraku yang sudah mati sebelum sempat kulahirkan.[]
Â
TAMAT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H