Sore itu aku berangkat mengemudikan mobil, hendak menjemput Dimas di sekolahnya.
Tak lama setelah memasuki gerbang sekolah, kulihat Dimas melambai ke arahku di antara kerumunan pelajar. Dengan cepat ia membuka pintu mobil dan menduduki jok sebelahku. Usianya kini lima belas. Meski bukan anak kandungku, aku menyayanginya sepenuhnya. Kalau mau jujur, bahkan dialah yang mendorongku untuk bersedia menerima pinangan dari Rio. Seorang duda yang ditinggal mati sang istri dengan membawa balita berumur tiga tahun.
Ketika mobil meluncur keluar gerbang, entah mengapa, rambut-rambut halus di tengkukku berdiri. Lewat kaca spion, kusaksikan sosok pria yang berdiri di depan gerbang. Entah mengapa, kembali rasa dejavu seakan menyapuku. Penjaga gerbang itu seperti tengah menunggu entah apa.
"Ngapain aja di sekolah hari ini?" tanyaku pada Dimas, mencoba mengalihkan fokusku dari firasat tak enak yang datang sekonyong-konyong.
Dimas hanya menyahut dengan bunyi dengusan pendek. Perhatiannya terpusat sepenuhnya pada layar telepon genggamnya.
"Dim, jangan main hape terus. Ibu tanya."
Saat ia menengok, bukan wajah Dimas yang kusaksikan.
Tetapi wajah anak itu.
Aku takkan pernah bisa melupakannya.
Dua puluh lima tahun telah berlalu, tetapi aku tetap akan mengenali wajah itu di manapun. Â Â Â Â Â Â
Anak yang kutolong waktu itu. Anak tanpa penglihatan itu.