Mohon tunggu...
Nuraeny Hamid
Nuraeny Hamid Mohon Tunggu... Apoteker - Nuwi

Pharmacist, pengajar dan Ibu dari satu putra. Jatuh cinta dengan dunia literasi untuk terus bisa memanfaatkan diri tanpa batas.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

I'M ON THE WAITING LIST

8 Mei 2022   19:38 Diperbarui: 8 Mei 2022   19:46 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kenapa hanya ruangan ini yang tersedia? sementara aku memerlukan tempat yang bisa membuatku beristirahat sejenak, memulihkan tubuh ini, agar bisa secepatnya pulang dan beraktifitas seperti biasa.

Dengan terhuyung, menahan sakit yang begitu menyiksa, aku duduk di kursi roda yang disediakan Security. Di dorong melewati lorong rumah sakit menuju kamar yang sudah disiapkan sebelumnya mengikuti seorang perawat yang berjalan di depanku.

Di depan pintu kamar, sudah banyak mata yang melihatku dari berbagai sisi. Seorang anak nampak kegirangan begitu melihat sosokku masuk kamar.

"Ssttt! jangan berisik, Nuwinya sakit," kata seorang anak kepada teman-temannya yang mulai menampakkan diri.

Aku dibantu Security naik ke tempat tidur, namanya Pak Usman. Dengan bantuannya juga semua barang-barangku dimasukan ke lemari kecil di samping tempat tidur. Perawat memasangkan infusan  di tiang, kemudian memastikan setiap tetesan cairan infus keluar sesuai aturan dosisnya.
 
"Mbak, semuanya oke. Kalau ada apa-apa tekan tombol seperti biasa, ya?" kata

Perawat, kemudian keluar kamar.

"Sudah aman semua, Neng. Saya mau ke pos lagi, kalau ada apa-apa hubungi saya, ya?" kata  pak Usman.

"Oh, iya Pak. Sebentar ...," Aku mengambil sesuatu dari tas, kemudian mengepalkannya ke tangan pak Usman.

"Eh ..., gak usah, Neng." pak Usman menarik tangannya. Dia tidak mau menerima uang tip dariku.

"Jangan gitu, Pak. Ini mah buat beli rokok," kataku setengah memaksa. Kumasukan uang itu ke saku bajunya. Dengan berat hati Pak Usman menerimanya.

"Ah, Neng mah. Ya udah atuh, gak enak kalau pakeukeuh-keukeuh mah. Makasih ya, Neng."

"Aku yang makasih loh, Pak."

"Iya, sama-sama, Neng. Cepet sehat, ya?"

"Iya Pak, aamiin. Selalu doakan saya ya, Pak?"

"Pasti Neng, selalu eta mah. Ya sudah, Neng istirahat saja, Bapak ke pos, ya?"

"Iya, Pak. Sekali lagi makasih, ya?"

"Sama-sama, Neng. Assalamualaikum." Pak Usman pun berlalu.

Aku baringkan tubuh, membiarkan mereka yang dari tadi menatapku berdiri berjejer di samping ranjang.

"Nuwi, sakit banget, ya?" tanya seorang anak yang berdiri di dekat jendela.

"Ya, Fa, sakit banget. Aku mau tidur dulu, ya? Please, jangan ganggu aku dulu," kataku sambil memejamkan mata.

Tak ada jawaban, anak-anak itu pasti pergi, membiarkanku beristirahat sejenak.

Aku terbangun, jam di ruangan menunjukan pukul 20.14, melihat sekeliling, nampak anak-anak sedang bermain. Ada yang duduk di sofa, lantai, dan di bawah jendela. Mereka asik dengan permainannya masing-masing.

Tiba-tiba Alfa berteriak,  berlari masuk ke bawah tempat tidur, “Ada Pak Tua!” Spontan semua anak mengikuti Alfa masuk kolong mengikuti Alfa.

Aku mengambil ponsel, segera memutar Murotal dengan volume maksimum. Aku  tarik selimut hingga menutupi seluruh tubuh. Perasaan takut mulai menghampiri. Bau amis darah pun mulai tercium, kemudian berganti bau busuk yang menyeruak di seluruh ruangan.

'Buk ..., buk ..., buk!' 

Terdengar seperti suara dinding yang dipukul dari luar. Keringat dingin mulai membasahi kening. Untuk mengeluarkan tangan dari balik selimut saja, aku takut. Ingin sekali tangan itu menekan tombol panggilan darurat ke nurse station. Tapi rasa takut membuatku urung melakukannya,  memilih bertahan di balik selimut.

Beberapa menit berlalu, bau ruangan sudah kembali normal, satu per satu anak-anak mulai keluar dari bawah tempat tidur. Perlahan kubuka selimut yang menutupi tubuh, wajah basah dengan keringat.

'syukurlah, dia sudah pergi,' gumamku. Aku bangkit, mengambil botol air mineral, kemudian  meneguk airnya sampai habis.

Belum sempat  menutup botol, tiba-tiba Sira menjerit, bajunya seperti ditarik dari belakang, dia diseret menjauh dari tempat tidur. Kepanikan pun terjadi, anak-anak berhamburan berlari keluar kamar.

“Jangan pergi! Kalian, jangan pergi! Sira ...!” teriakku. Dengan susah payah aku turun dari tempat tidur,  mengejar Sira yang terus diseret menjauh.

Kepalaku mulai sakit, pandangan kabur, lalu semuanya gelap. Aku hentikan langkah, perlahan  jongkok sambil merasakan suasana di sekitar. Aku tekuk kaki rapat-rapat,  benamkan wajah di antara kedua lutut.

“Alfa ..., Biyah ..., Fito ..., teman-teman ..., kalian dimana?” Aku mulai menangis, memanggil  mereka yang entah sudah menghilang ke mana.  Akhirnya aku tidak bisa mendengar apapun, semua hening dan gelap.

Inilah yang selalu aku alami ketika  mendapatkan kamar di bangsal Akasia. Teror mahluk yang tidak bisa aku jelaskan. Aku hanya memahami, manusia itu mempunyai ruang antara, dimana ada satu tempat setelah kehidupan,sebelum kematian. Ada dimensi lain di dunia ini yang tidak mampu dijelaskan dengan  keilmuan yang aku miliki.

Banyak jiwa-jiwa yang akhirnya harus berada di dimensi itu, ruh-ruh yang belum bisa pulang. Seperti halnya Alfa, bocah 7 tahun yang tidak menyadari kalau dirinya bukan lagi manusia berwujud sepertiku yang masih bisa mencium aroma udara pagi.


 Aku sudah mengeceknya, faktanya Alfa sudah meninggal 8 tahun lalu karena terjatuh dari jendela rumah sakit saat disuruh ibunya menunggui adiknya yang sedang dirawat saat itu. Yang dia tahu, ibunya pulang meninggalkannya di sini karena marah, dia tidak menjaga adiknya dengan baik, dan sampai saat ini, dia menunggu Ibunya datang menjemput.

Lalu  Biyah, pasien leukimia yang baru beberapa hari terakhir koma. Dia harus bolak balik menemui ibunya yang selalu memanggil-manggil namanya, dia memyaksikan Ibunya menangis setiap hari meratapi tubuh mungil yang masih bertahan karena bantuan alat dan obat. Sebetulnya, dia hanya menunggu komando Tuhan, menjemputnya atau memberinya keajaiban untuk bisa menemani ibunya lagi. Jiwa anaknya yang masih suci, tetap riang bermain, menikmati hari-harinya bersama teman sedimensinya.

Fito, bocah laki-laki dengan perawakan keturunan Belanda, terjebak di bangsal ini karena kabur dari kejaran si pak tua. Pak tua yang ditakuti anak-anak adalah seorang pemburu ruh suci, untuk syarat keabadian, kekebalan, dan kesaktiannya, dia mencari jiwa dan ruh anak-anak untuk dijadikan persembahan, seperti yang terjadi dengan Sira. Sememtara anak-anak lainnya adalah mereka yang datang hanya singgah di dimensi ini kemudian pergi menuju tempat yang sudah menantinya dalam kedamaian.

Terdengar suara kesibukan disekitarku. Membuka mata perlahan, pandangan masih sedikit kabur, kedipkan mata beberapa kali, kemudian kubuka lagi dengan harapan pandangan menjadi jelas. Ternyata masih sama, semua berbayang, setiap benda seolah bergerak melebar kemudian mengecil.

“Aku di mana?” tanyaku, dengan suara lemah.

“Pagi, Nuwi! Hayoo, di mana?” Terdengar suara Perawat menjawab pertanyaanku.

“semalam dari mana? Tuh, kan? Jadinya drop lagi, deh,” lanjut perawat.

Aku terdiam, tak ada yang bisa aku sampaikan, karena aku yakin mereka tidak akan mempercayainya.

Aku tidak tahu dari kapan mata ini bisa melihat mahluk astral dan bisa berkomunikasi dengan mereka. Karenanya, aku harus masuk ruang psikiatri karena dianggap depresi, sering berbicara sendiri dan asik dengan dunia sendiri. Tidak ada seorang pun yang mempercayai ceritaku, dan akhirnya, aku memilih diam dan menghadapi ketakutan ini berkali-kali tanpa bisa berbuat apa-apa.

“Nuwi, sssttt! jangan bicara.” Terdengar suara Alfa berbisik di sampingku.

Aku mengangguk, tak lama aku mendengar Perawat berbicara kepada pasien lain. 'Oh, sepertinya aku masuk ruangan intensive.' Bagiku, di ruangan ini tidak jauh lebih baik dari ruanganku sebelumnya. Justru di sini lebih menakutkan, karena di sini, aku berhadapan langsung dengan kematian. Bagaimana tidak, setiap pasien yang masuk ruangan ini hanya ada dua kemungkinan, yaitu membaik terus kembali ke ruang perawatan lalu pulang ke rumah, atau perburukan masuk ke ruangan Intensive Care Unit dan pulang meninggalkan dunia ini. Meskipun tak jarang banyak pasien yang mampu bertahan melewati masa kritisnya, dan bisa kembali ke rumah.

“Ibu Marni, dibersihkan dulu, ya, lendirnya? Terus nanti Ibunya saya seka biar segeran.” Terdengar suara Perawat di sebelahku.
Dia sedang merawat pasien di sampingku.

Setiap pagi, kita akan mereka bersihkan, mulai dari rambut sampai kaki. Selama mengerjakan tugasnya, para Perawat itu terus mengoceh, berbicara, bercerita, seolah pasien di depannya mampu merespon. Padahal, tak jarang pasien yang sedang mereka tangani dalam kondisi penurunan kesadaran.


Suara alat bergemuruh, aku menoleh ke arah bed dimana bu Marni sedang dibersihkan. Terlihat perempuan tambun,  dengan berbagai selang terpasang, dari mulut, hidung, dada, sampai ada selang yang tersambung ke ujung tempat tidur. Suara alat dihidupkan, bergemuruh, tak lama terdengar suara seperti sedang menyedot sesuatu cairan kental yang sulit. Tubuh gemuknya bergetar setiap kali alat dinyalakan.

“Tuhh, banyak sekali lendirnya, Bu.” Kata Perawat sambil melepaskan alat.

Ku pejamkan mata, merasakan tubuh sendiri, betapa manusia itu memang lemah, tak punya daya, tak punya kekuatan apapun. Hanya seonggok tubuh yang ketika Tuhan lemahkan, dia akan lemah, ketika Tuhan kuatkan, maka tubuh itu kuat. Lalu, hal apa yang membuat manusia merasa hebat sebagai 'manusia'? Jika nyatanya, di sini, bergelimpangan tubuh-tubuh yang bisa saja dalam hitungan waktu hanya akan menjadi tubuh tak bernyawa.

Masih terpejam, mendengarkan semua kegiatan di ruangan ini lewat suara. Kesibukan Perawat dalam memantau pasien-pasien yang memerlukan perhatian lebih dan suara dari monitor berbagai alat bantu menjadikan suasana yang khas di ruang Hight Care Unit ini.

“Nuwi, bangun!” Alfa memanggilku.

Aku membuka mata, nampak Alfa di sampingku sedang memperhatikan sesuatu di depan tempat tidur. Aku mengikuti arah mata Alfa. Bed pasien nomor 05, terlihat laki-laki berbadan tegap dengan leher menggunakan collar neck --penyangga leher untuk pasien yang mengalami patah tulang leher atau cedera sekitar leher-- tengah tertidur. Tangan kirinya disangga Arm sling, selang oksigen dan infus terpasang, beberapa kabel menghubungkan monitor dengan tubuhnya.

Mataku menangkap sesuatu di pojok sebelah kirinya. Aku melihat ada bayangan hitam,  tidak tahu itu asap atau bayangan benda atau apa, namun yang pasti bayangan itu tidak aku lihat di bed pasien lainnya.

“Mah, Mamah ..., Maah ...!” Dengan suara berat pasien itu memanggil seseorang, entah istrinya atau ibunya.

“Ya, Pak Antoni. Kenapa?” teriak Perawat sambil menghampiri pasien 05. Namanya Antoni.

Tidak ada respon dari Pak Antoni, Perawat pun kembali ke meja jaganya. Belum juga dia sampai di mejanya, tiba-tiba pak Antoni berdiri di atas bed nya. Tubuhnya yang tinggi membuat kepala pak Antoni hampir menyentuh langit-langit.

'Sssuuttttt!'

'Buuukkkk!'

'Brakkk!'

Spontan jeritan para Perawat terdengar. Aku langsung menutup mulut dengan kedua tangan karena spontan ikut menjerit. Aku melihat Pak Antoni melangkahkan kaki dari bed nya, tapi, tertahan besi pembatas di ujung bed. Tak ayal ia jatuh tersungkur dengan wajah lebih dulu menyentuh lantai. Semua kabel di tubuhnya tertarik kemudian lepas, akibatnya semua monitor pun ikut jatuh.

Jelas, mataku melihat bagaimana pak Antoni melayang jatuh dan tidak bergerak. Alfa menutup matanya dengan kedua tangannya,  dan aku memejamkan mata rapat-rapat. Kesibukan pun terjadi di ruangan ini, Perawat yang jaga meminta bantuan Perawat lain dari luar ruangan. Memberikan pertolongan kepada pak Antoni.

Belum selesai pak Antoni, bed 03 disampingku berbunyi.

'Tiiittt ... tiiittt ... tiiittt ...!'

Aku menoleh ke arah bed 03, nampak pasien perempuan paruh baya kejang-kejang, giginya kuat menggigit lidah yang sedikit menjulur, darah mulai nampak di mulut pasien itu, mungkin dari lidah yang tergigit akibat kejang.  Aku lihat  grafik di monitor bergerak turun, angka menunjukan nilai yang menurun juga. Salah satu perawat datang ke bed ku kemudian menutup semua tirai pembatas.

Aku mulai menangis, tangan kanan aku gunakan untuk menutup mata. Aku merasakan tangan Alfa menutup kedua telingaku. Aku sudah tahu ending dari kesibukan di ruangan ini akan seperti apa.


“Ya, Allah. Mungkinkah aku tengah menunggu antrian?” gumamku dalam isak.

Aku tidak tahu giliranku kapan, dan akan seperti apa akhir kisahku nanti. Di sini, betapa mudahnya kematian datang menjemput dengan cara-cara yang kita tidak pernah tahu.

Ruangan tiba-tiba hening, hanya beberapa suara monitor berbunyi normal. Dari kejauhan aku mendengar suara tangisan pilu, meraung-raung  menyayat hati. Ada kehilangan, penyesalan dan ratapan dari tangis keluarga yang telah kehilangan seseorang yang mereka cintai. 

'Akankah ada seseorang yang menangisiku nanti? Akankah ada yang terluka nanti jika saatku tiba?' 

Air mataku deras keluar dari ujung kelopak mata. Mengucap takbir, tahmid, dan dzikir denhan lirih. Sepertinya hanya itu yang bisa membuatku tetap sadar, sabar dan ikhlas.

Tiba-tiba seorang Ibu datang, masuk dengan wajah sembab, matanya bengkak, hidungnya merah, jelas tergambar jika dia baru saja menangis.

Tanganku dipegangya kuat, ia memaksakan senyum di antara air mata yang akhirnya tumpah juga. Genggamannya cukup erat, seolah ingin menyampaikan sesuatu namun ia tak mampu. Ya, dukanya terlalu dalam. Tangan kirinya memegang boneka kucing berwarna kuning. Itu Poporing, bonekaku yang sengaja aku simpan di samping Biyah, untuk menemani Biyah berjuang menjemput keajaiban.

“Ahhh, Biyah ....” Hanya itu yang keluar dari mulutku.

Aku membalas genggaman tangan yang meminta kekuatan. Untuk sejenak, kita menangis tanpa kata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun