Hak cuti dan waktu istirahat tetap ada bukan hilang diatur dalam pasal 79. Cuti tahunan diberikan paling sedikit 12 hari bagi pekerja yang telah bekerja selama 12 bulan, serta diatur dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan.
f. kebijakan tentang PHK
Pada pasal 151 disebutkan bahwa perusahaan, pekerja, serikat pekerja, dan pemerintah harus mengupayakan tidak terjadi PHK. jika sampai terjadi PHK dan pekerja menolak, maka harus dilakukan perundingan bipartit. Jika belum mencapai kesepakatan maka harus dilakukan dengan penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
g. Jaminan sosial dan kesejahteraan
Jaminan sosial tetap ada, sesuai pasal 82, dengan jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, jaminan kematian, dan jaminan kehilangan pekerjaan. Kemudian ditambahkan jaminan kehilangan pekerjaan.
Namun RUU Cipta kerja ini menuai banyak kritikan oleh masyarat karena di anggap tidak memperdulikan hak buruh karena muncul Berbagai hoax yang berkembang menyangkut masalah upah, status pekerja, pesangon, hingga ketentuan tenaga kerja asing. Banyaknya kabar yang tidak benar ini mungkin karena kurangnya komunikasi terhadap masyarakat. penolakan terhadap RUU tersebut karena dinilai hanya menguntungkan kapitalis, investor, dan konglomerat.
Dilain sisi, kalangan pengusaha menyambut baik kebijakan ini karena di anggap berpotensi membuka lapangan pekerjaan hingga memperluas investasi. Problematika UU Cipta Kerja berlanjut sampai akhir tahun 2021, Majelis Hakim MK menegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja cacat formil, inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD 1945. MK meminta kepada pembentuk Undang-Undang untuk melakukan Perbaikan UU Cipta Kerja dengan tenggat waktu selama dua tahun, sejak putusan dibacakan.
Berdasarkan pandangan politik hukum UU Hak Cipta, penulis menyimpulkan bahwa jika dilihat dari sektor ekonomi, dengan disahkannya rumusan kebijakan UU Hak Cipta, mereka dapat menjawab permasalahan terkait aturan dalam perizinan. Dengan demikian, dapat meningkatkan investasi yang mengarah pada penciptaan lapangan kerja. Omnibus law UU Cipta Kerja dapat menyederhanakan persyaratan yang berlapis-lapis dan saling bertentangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah akibat pengambilan keputusan ekonomi iang lebih terpusat (sentralisasi). Namun, Omnibus Law RUU Cipta Kerja juga memiliki kelemahan hukum, seperti proses pembentukan RUU Cipta Kerja yang berlangsung sangat cepat, tertutup, dan minim partisipasi masyarakat. Secara iubstansial, RUU Cipta Kerja mengarah pada sentralisasi kekuasaan yang rentan terhadap potensi korupsi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H