Milenial, kata yang tak asing didengar, lantaran hal itu seakan telah menjadi kicaun sehari-hari yang sering didengungkan. sebenarnya apa itu milenial dan siapa yang terkena khitob di dalamnya?. Dan sejak kapan kata itu muncul?.
Dalam kamus KBBI, milenial diambil dari kata milenium yang berarti ‘masa atau jangka waktu seribu tahun’. Sedangkan milenial adalah ‘objek yang berada di era tahun 1000 tahun ke atas’. Maka bisa diambil kesimpulan bahwa siapapun yang hidup atau berada di era ini, maka disebut generasi milenium atau milenial. Ala kulli hal Santri zaman sekarang juga tercakup di dalamnya. Termasuk kita yang sedang menghirup udara milenial ini.
Namun, sepertinya ada yang terasa janggal mengenai kata milenial jika disandingkan dengan santri. Karena milenial itu sendiri, lebih condong dan mengarah kepada suatu hal yang buruk dan tak sesuai dengan norma-norma agama. Contoh, seperti ada anak remaja yang bolos sekolah, mabuk-mabukan, zina, tawuran, saling membunuh, dan lain sebagainya. Maka, khalayak umum yang sedang merekam kejadian itu, spontan akan mengatakan “dasar remaja milenial”. Karenanya, jika kata santri bersanding dengan kata milenial, maka akan memberi pemahaman bahwa santri itu merupakan organisasi atau generasi yang buruk. "Dasar Santri Milenial".
Akan tetapi dikarenakan santri zaman sekarang telanjur dicap sebagai santri milenial, maka hal pertama yang harus dilakukan oleh santri adalah merubah mindset pemikiran khalayak umum bahwa santri itu tidak seperti apa yang mereka bayangkan. Hanya karena hidup di era milenial ini, tidak serta merta mnghilangkan Maka hal yang pertama kali untuk mengubah mindset mereka adalah mengaplikasikan etika yang benar yang sesuai dengan hakikat santri yang sebenarnya.
Sebagaimana takrif santri yang ditetapkan oleh al-magfurlah Kiai Hasani bin Nawawie Sidogiri:
السنتري
بشاهد حاله هو من يعتصم بحبل الله المتين ويتبع سنة الرسول الأمين صلى الله عليه وسلم ولا يميل يمنة ولا يسرة في كل وقت وحين هذا معناه بالسيرة والحقيقة لا يبدل ولا يغير قديما وحديثا. والله أعلم بنفس الأمر وحقيقة الحال
Santri
“Berdasarkan peninjauan tindak langkahnya, santri adalah orang yang berpegang teguh pada tali Allah (al-Quran) dan mengikuti sunnah rasulullah SAW, dan teguh pendirian. Ini adalah arti berdasarkan sejarah dan kenyataan yang tidak dapat diganti dan diubah selama-lamanya. Allah SWT Maha Mengetahui atas kebenaran sesuatu dan kenyataannya”.
Sebenarnya pada era milenial ini, sebagai seorang santri harus sadar bahwa siapa hakikat santri itu sendiri. Maka dalam kajian ini, penulis ingin memaparkan beberapa hal yang harus diaplikasikan. Supaya bisa mengembalikan mindset khalayak umum dalam menanggapi siapa santri yang sebenarnya.
- Selaras Dengan Ahlu Sunah Wal Jamaah
Sebenarnya sikap santri itu sama persis dengan sikap Ahlu Sunah wal Jamaah dalam menegakkan amar makruf dan nahi mungkar. Karenanya tak ayal jika umat nabi Muhammad (Ahlu Sunah wal Jamaah) adalah umat yang terbaik dari pada umat-umat terdahulu, sebagaimana dalam al-Quran:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفٍ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرْ
“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar.” (QS. Ali Imran: ayat 110)
Oleh karenanya selaku umat terbaik, maka telah menjadi kewajiban bagi setiap umat nabi Muhammad untuk memerintah pada yang baik dan mencegah dari yang mungkar, dan tidak boleh pilih kasih. Siapa saja yang sedang melakukan kemungkaran, maka menegakkan nahi mungkar hukumnya wajib. Sebagaimana yang dijelaskan dalam sebuah Hadis riwayat Imam Muslim, dalam kitabnya Shohih Muslim:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِرْهُ بِيَدِهْ فَأِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَأِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ, وَذَلِكَ أَضْعَفُ الِأيْمَانِ
“barangsiapa di antara kalian menyaksikan perbuatan yang mungkar, hendaklah merubahnya dengan tangan kalian. Apabila engkau tidak mampu, maka ubahkah dengan lisan kalian. Apabila engkau tidak mampu, maka ubahlah dengan hati kalian. Sedangkan itulah (hati) gambaran paling rendahnya keimanan.”
Termasuk karakteristik “umat terbaik” adalah selalu berada di posisi ‘tengah’ atau bisa diartikan moderat dalam bersikap. Sebagaimana dijelaskan yang tertera pada al-Quran:
وَكَذَالِكَ جَعَلْنَكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُوْنُوْا شُهَدَآءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا
“Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang wasath (tengah-tengah/moderat) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan kamu” (QS. Al-Baqarah: 143).
Sayyid Muhammad Alwy al-maliky, dalam kitabnya Syaroful-Ummah al-Muhammadiyah menyatakan bahwa kata wasath pada ayat tersebut memiliki arti jalan yang lurus yang tak melenceng dari haluan. Artinya, sikap moderat meniscayakan umat Islam berada di posisi tengah, tidak memihak ke kiri dan ke kanan, suatu hal yang dapat mengantar seseorang senantiasa berlaku adil. Hal selaras juga sempat dikemukakan oleh al-Imam Fakruddin ar-Razy, dengan mengutip sebagian Mufasir dengan mengatakan, “bahwa sebagaimana Allah menjadikan kiblat umat Islam berada di tengah secara geografis, Allah juga menjadikan karakter “tengah/moderat” itu ada pada diri umat Islam”.
Dari pernyataan tersebut memiliki sebuah relasi dengan takrif santri di muka yaitu, “santri itu tidak menoleh ke kanan dan ke kiri (teguh pendirian)”. Tidak condong pada jalur kiri atau kanan. Dan lebih gamblangnya, Islam mengajarkan umatnya menyikapi suatu hal secara proporsional dan sewajarnya. Tidak berlebih-lebihan.
Sikap moderat yang dialami oleh Ahlu Sunah wal Jamaah terlebih santri mencakup ke berbagai aspek. Dalam aspek akidah, Islam menjadikan hal-hal yang ghoib sebagai pondasi keimanan, dengan syarat bersumber dari dalil-dalil yang qoth’i. Namun di waktu yang sama Islam mengecam sikap khurafat yang mempercayai hal-hal yang mistis secara berlebih-lebihan.
Dalam aspek kehidupan, Islam juga mengajarkan sikap keseimbangan: tidak menganggap kehidupan dunia sebagai suatu yang maya, dan juga tidak menganggap dunia sebagai segalanya. Islam memandang kehidupan itu merupakan keseimbang antara dunia dan akhirat. Islam juga tidak mengecam sikap materialisme (hubbud-dunya), namun juga tidak memuji sikap spiritualisme sampai meninggalkan dunia.
Dalam aspek sosial, Islam juga melarang para penganutnya untuk bersikap kikir hingga tak mau mengeluarkan se-peserpun untuk disedekahkan. Namun di saat yang sama Islam juga melarang pemberian secara berlebihan tanpa mempertimbangkan pengeluaran hingga berdampak pada pemborosan.
Dari pemaran ini, jika disandingkan dengan takrif santri di atas akan memberi pemahaman bahwa, antara Ahlu Sunah wal Jamaah dan santri adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
- Semangat Membela Tanah Air
Pada masa di mana Indonesia telah merdeka, para penjajah datang kembali untuk merebutkan negara ini. Saat itu KH. Hasyim Asy’ari selaku pendiri Nahdlotul Ulama, menyerukan hukum wajib jihad bagi rakyat Indonesia. Fatwa beliau terkemas dalam “Resolusi jihad”. Terbukti dalam catatan sejarah, bahwa barisan terdepan pembela agama dan bangsa adalah kalangan ulama dan para santri. Dengan berlandaskan sebuah hadis riwayat Shahabat Anas, Rasulullah SAW bersabda:
جَاهِدُوْا الْمُشْرِكِيْنَ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَأَلْسِنَتِكُمْ". رواه احمد والنسائي وصححه الحاكم. ”
“Berjihadlah kalian semua dengan orang-orang musyrik dengan harta, jiwa dan lisan kalian” (HR. Ahmad dan Nasai dan dianggap sohih oleh Imam Hakim).
Hal senada juga sempat dikemukakan oleh Syekh Muhammad bin Qosim al-Ghozi dalam karangannya yang bertajuk Fathul-Qorib al-Mujib, yang artinya: “Jika ada orang kafir yang masuk ke negara orang muslim atau menetap di sebuah tempat yang dekat dengan negara tersebut, maka hukum jihad pada saat itu hukumnya fardu ain, kemudian bagi penduduk negara tersebut wajib mempertahankannya (menolaknya)”.
Namun di era teknologi ini para penjajah tidak menyerang dan membantai Indonesia dengan mengangkat senjata, mereka memborbardir Indonesia dengan menyelundupkan berbagai macam budaya barat yang tidak mencerminkan norma agama sama sekali. Karenanya, santri (tidak menafikan mereka yang tidak nyantri) akan selalu berada di garda terdepan dalam melawan dan menghadang mereka. Karena dalam pendidikannya santri dituntut untuk selalu cinta tanah air sebagaimana yang telah dipaparkan oleh al-Imam Musthafa al-Gholayaini:
الوطنية الحق هيى حب اصلاح الوطن, والسعي في خذمته. والوطني كل الوطني من يموت ليحيا وطنه ويمرض لتصح أمته
“Rasa cinta Tanah Air yang hak adalah senang dalam memperbaiki negara, dan berusaha berbakti pada negara. Sedangkan cinta Tanah Air yang sebenarnya adalah orang yang rela mati demi kehidupan negaranya dan sudi menderita sakit demi kesehatan bangsanya.”
Oleh karenanya santri milenial akan terus memperjuangkan negaranya dan selalu menjaganya dari semua penjajah yang hendak merampas kembali kemerdekaan negaranya. Maka tak bisa kita pungkiri jika banyak dari kaula muda yang berstatus santri terjun langsung ke dunia maya dengan menjadikannya sebagai media dakwah membela bangsa, agama dan negaranya.
Mereka rela harus memeperjuangkan tenaga, fikiran dan hartanya hanya karena ingin menegakkan agama, bangsa dan negara. Dan mereka itulah yang dikatakan sebagai generasi milenial yang benar.
- Moral Baik (Akhlak al-karimah)
Moral baik (Akhlak al-Karimah) sejatinya identik dengan kata santri. Karena dalam masa rihlah ilmiahnya tidak ada seorang kiai atau guru yang akan menyuruh atau mengajari moral yang buruk kepada muridnya (Santri). Karenanya jika ada seorang santri yang tidak ber-moral dengan baik, maka dia telah keluar dari koridor santri yang sebenarnya.
Hal ini masih berkaitan dengan sebuah tuntutan yang harus diaplikasikan oleh semua orang terlebih yang berstatus sebagai santri. Sedangkan kewajiban untuk berbakti kepada kedua orang tua telah dejelaskan dalam al-Quran:
“Dan tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya mencapai usia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak kedunya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Dan rendahkanlah dirimu di hadapan keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku di waktu kecil.” (QS. Al-Isra’ [17}: 23-24)
Dari ini telah jelas bahwa kewajiban kita adalah berbakti kepada kedua orang tua. Karena sejatinya santri adalah orang yang berbuat baik itu sendiri. Maka telah menjadi sebuah tuntutan bahwa santri harus selalu menerapkan moral yang baik kepada siapapun juga terlebih kepada kedua orang tua.
Dalam Hadis Rasulullah juga menekankan betapa pentingnya memberi penghormatan kepada kedua orang tua. Rasulullah bersabda:
أَلْوَالِدْ أَوْسَطُ أَبْوَابُ الْجَنَّة, فَأِنْ شَئْتَ فَأَضَعُ ذَالِكَ الْبَابُ اَوْ احْفَظْهُ
“Kedua orang tua adalah pintu surga yang paling tengah. Jika kalian mau memasukinya maka jagalah orang tua kalian. Jika kalian enggan memasukinya, silahkan sia-siakan orang tua kalian” (HR. Tirmidzi)
Jika kita melihat pada realitas yang berada di sekeliling kita, banyak dari kalangan pemuda-pemudi yang terseret pada lembah kenistaan yang telah merubah etika mereka menjadi tak karuan. Maka tak ayal jika akhir-akhir ini banyak dari kalangan masyarakat yang sudah mulai sadar bahwa betapa pentingnya memondokkan seorang anak, dan membiarkan title santri melekat padanya.
Namun tidak berhenti di sini saja. Untuk menggapai sebuah impian menjadi seorang santri hakiki juga masih membutuhkan support dari orang-orang yang berada di sandingnya. Salah satunya adalah pedoman dan dukungan dari seorang guru dan orang tua. supaya impian menjadikan generasi milenial sebagai santri hakiki tercapai.
Setelah tujuan sebagai seorang santri hakiki telah tercapai, maka tidak ada masalah jika santri disandingkan dengan kata milenial. bahkan hal itu menjadi keharusan. Agar mereka tidak menganggap santri milenial sebagai remaja yang hanya selalu membuat resah khalayak umum.
Sekadar penutup, mari kita bangkitkan ghiroh kesantrian kita dengan berpedoman kepada takrif santri yang sebenarnya. Sebagaimana takrif santri yang telah didefinisikan oleh al-magfurlah Kiai Hasani bin Nawawie Sidogiri di atas. Dari inilah terwujud generasi santri ala milenial. Dari kami santri Sidogiri. Salam santri milenial. Wassalam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H