Dengan kekuasaan yang dimiliki, Syafri Harto divonis bebas dari hukuman yang seharusnya diterima. Disinilah wujud bahwa adanya relasi kuasa sebagai dosen pada mahasiswi penyintasnya yang memiliki ketidakberdayaan. Adanya indikasi penyelewengan. Kekuasaan ini menyebabkan banyak kasus-kasus serupa memilih bungkam. Sehingga, dampak yang ditimbulkan dari relasi kuasa tersebut tidak hanya rasa cemas dan takut, namun juga berbahaya bagi kesehatan psikis dan fisiknya, biasanya timbul turunnya kondisi fisik akibat trauma yang mendalam (Artaria, 2012). 7Namun tidak dipungkiri, penyintas juga seringkali merasa tersudutkan akibat ketidakberdayaannya.Â
Ketidakberdayaan inilah yang dimanfaatkan oleh pelaku untuk menyerang balik bahkan menghambat penyintas yang ingin melaporkan kejadian kekerasan seksual tersebut. Relasi kuasa ini menjadi kompleks karena dipengaruhi oleh konstruksi gender, usia, bahkan kekuasaan lainnya. Terduga pelaku yang memiliki posisi sebagai dosen tentunya memiliki relasi di banyak sektor terkait. Misalnya relasi dengan kiai, polisi, masyarakat, dan sebagainya. Relasi tersebut dimanfaatkan demi kepentingan penguasa.Â
Penyintas kekerasan seksual saat ini tidak hanya dirugikan dalam hal seksualnya saja, namun juga dalam proses pencarian keadilan yang semakin tidak mudah, seperti pada kasus ini adalah hambatan yang dialami oleh penyintas LM yang akhirnya menuntut langsung untuk menemui Nadiem Makarim, dan mempertanyakan implementasi dari Permendikbudristek No. 30 tahun 2021 mengenai Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) yang dinilai dapat melindungi penyintas.Â
Secara fakta menyatakan bahwa dampak yang dirasakan para penyintas seringkali dianggap remeh, sehingga pelaku dibebaskan dari konsekuensi karena relasi kuasa yang dimilikinya, apalagi Syafri Harto selaku dosen dan dekan. Bahkan dugaan yang beredar menyatakan bahwa Syafri Harto sebagai pelaku yang divonis bebas masih diperbolehkan mendaftar sebagai calon rektor Universitas Riau.
D. Kebijakan Pemberantasan Kekerasan SeksualÂ
Berbagai kasus kekerasan seksual di tingkat perguruan tinggi yang sudah marak tentu menjadi urgensi bersama, bagaimana upaya yang dapat dilakukan untuk memerangi kasus kekerasan seksual. Berdasarkan pendapat Komnas Perempuan sendiri meminta setiap perguruan tinggi untuk berkomitmen dalam mengimplementasikan Permendikbud 30/2021.Â
Peraturan ini dibuat dan diterapkan sebagai langkah yang baik untuk menuju lingkungan pendidikan yang aman, sehat, dan nyaman tanpa kekerasan seksual. Peraturan yang dibuat oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi ini membahas tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi. Dalam aturan ini menjabarkan terkait upaya penanganan, pencegahan, dan pemberian sanksi terhadap pelaku kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.Â
Melalui adanya Permendikbud-Ristek PPKS akan lebih baik apabila diberikan jalan dan dianggap sebagai langkah positif pemerintah untuk memberikan regulasi tetap untuk melindungi penyintas kekerasan seksual. Dengan adanya regulasi tersebut, diharapkan perguruan tinggi dapat dengan segera menanggapi dengan memberikan langkah strategis menciptakan regulasi internal sebagai penyediaan ruang aman, sehat, dan nyaman bagi penyintas kekerasan seksual.Â
Pemberian sosialisasi dan penciptaan lembaga investigasi khusus kepada civitas akademika kampus dapat digalakkan oleh berbagai pihak kampus demi memberikan ruang publik yang dapat digunakan sebagai tempat bercerita dan berkeluh kesah untuk seluruh pihak. Selain itu, kewajiban bagi perguruan tinggi yaitu memberikan keberpihakannya pada penyintas dengan wujud penyediaan pendampingan sejak awal hingga selesai dan secara menyeluruh seperti jasa psikolog bagi penyintas untuk menghilangkan rasa trauma. Dengan adanya fasilitas lengkap tersebut tentu dapat mewujudkan nilai perlindungan institusi pendidikan agar terhindar dari tindakan kekerasan seksual.Â
PENUTUPÂ
E. KesimpulanÂ