A. Latar BelakangÂ
Kekerasan seksual menurut tindakan yang menjadi urgensi bersama saat ini karena sedang marak di berbagai ranah kehidupan. Menurut Poerwandari (2000) kekerasan seksual merupakan tindakan yang mengarah ke desakan seksual yang tidak dikehendaki oleh penyintas, memaksa penyintas akhirnya menonton produk pornografi, gurauan seksual, ucapan-ucapan yang merendahkan dengan mengarah pada aspek jenis kelamin penyintas, kemudian tindakan yang memaksa berhubungan seks tanpa persetujuan penyintas dengan kekerasan fisik maupun tidak, bahkan memaksa melakukan aktivitas seksual yang tidak disukai dengan wujud merendahkan ataupun menyakiti penyintas.1 Sehingga, kekerasan seksual ini diartikan sebagai aktivitas yang mengarah pada pemaksaan tindakan seksual yang memanfaatkan ketidakberdayaan penyintas.Â
Saat ini kasus kekerasan seksual di Indonesia marak terjadi di berbagai ranah publik, yang pelakunya merupakan orang dikenal maupun tidak dikenal penyintas. Secara umum, tindakan ini merujuk pada perilaku yang menunjukkan adanya komentar berunsur seksual dan tidak pantas, namun juga tindakan tersebut berupa pendekatan fisik yang memiliki unsur seksual (Rusyidi, Bintari, & Wibowo, 2019).2Â
Dampak dari kekerasan seksual tentunya memunculkan perasaan tidak enak pada penyintas, seperti depresi, phobia, perasaan curiga kepada orang lain dalam waktu yang cukup lama, bahkan memberi batasan atas hubungan dirinya dengan orang lain. Perasaan trauma psikologis yang tinggi oleh penyintas kemungkinan besar akan menimbulkan dorongan untuk bunuh diri (Sulistyaningsih & Faturochman, 2002).3 Dengan dampak yang begitu traumatis bagi penyintas, tentu dibutuhkannya pendampingan yang baik.Â
Berdasarkan data Komnas Perempuan tentang Catatan Tahunan (CATAHU) 2022 menunjukkan bahwa terdapat 338.496 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan pada 2021, angka ini dinilai meningkat dalam kurun waktu 10 tahun, khususnya kekerasan seksual yang dialami perempuan. Kekerasan seksual yang dapat terjadi dimana saja, menunjukkan bahwa perguruan tinggi masih menempati urutan tertinggi sebagai tempat terjadinya kasus kekerasan seksual. Terjadinya kekerasan seksual tentu terdapat faktor-faktor yang mendukung seperti adanya faktor peran keluarga, faktor rendahnya moralitas pelaku, dan faktor ekonomi (Fuadi, 2011).4 Ketiga faktor tersebut dinilai menjadi faktor utama yang berkaitan dengan adanya kasus kekerasan seksual.
Peningkatan tren kasus kekerasan seksual di Indonesia kini datang dari berbagai institusi, salah satunya institusi pendidikan yang seharusnya menjadi ruang aman bagi anggotanya tersebut untuk menimba ilmu. Salah satu kasus yang mencuat ke publik akhir-akhir ini juga merupakan kasus kekerasan seksual di ranah perguruan tinggi, yang akhirnya menimbulkan kekecewaan bagi banyak pihak utamanya anggota institusi pendidikan. Salah satu kasus besar tersebut merupakan kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Dosen Universitas Riau terhadap mahasiswa bimbingannya, namun ia dinyatakan divonis bebas oleh Pengadilan Tinggi Negeri Kota Baru karena dinilai kurangnya bukti. Hal ini menunjukkan bahwa adanya ketimpangan relasi kuasa atas ketidakberdayaan penyintas karena kuatnya nilai patriarki yang ada di masyarakat.
Dalam tulisan ini akan membahas mengenai isu relasi kuasa yang ada dalam kasus kekerasan seksual di kalangan perguruan tinggi, untuk lebih spesifiknya terhadap mahasiswa bimbingan yang dilakukan oleh Dosen  Universitas Riau. Dalam kasus ini akan dilihat menggunakan teori Michael Foucault berkaitan dengan teori relasi kuasa. Relasi kuasa menurut Foucault merupakan hal yang berkaitan antara pengetahuan dan kekuasaan, yang mana memiliki hubungan timbal balik antar keduanya. 5Selain itu, kasus kekerasan seksual lebih sering dipandang bahwa perempuan selalu menjadi penyintas akibat dari relasi kuasa laki-laki.Â
PEMBAHASANÂ
B. Kasus Kekerasan Seksual oleh Dosen di Universitas Riau
Saat ini kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan khususnya perguruan tinggi menjadi permasalahan kompleks yang harus menjadi perhatian bersama. Kekerasan seksual di lingkungan kampus kini sedang ramai diperbincangkan di media sosial, hal ini tentu menjadi urgensi bagi dunia pendidikan yang sudah seharusnya memberikan ruang yang aman bagi mahasiswa untuk mengenyam pendidikan.Â
Berdasarkan data Komnas Perempuan (2020) menunjukkan adanya 27% laporan pengaduan kekerasan seksual di institusi pendidikan menerangkan bahwa penyintas merupakan peserta didik, dan dilakukan oleh orang yang memiliki pengaruh di lingkungan pendidikan tersebut. Sehingga dengan penjelasan tersebut juga menunjukkan bahwa intelektualitas seseorang belum menjamin bahwa dirinya memiliki moral dan sikap yang mampu menghargai orang lain. Salah satu penjabarannya yaitu melalui kasus yang sedang mencuat ke publik adalah kasus yang dialami oleh mahasiswi jurusan Hubungan Internasional Universitas Riau yang mana ia menjadi penyintas pelecehan oleh dosennya sendiri yaitu Syafri Harto yang merupakan dosen pembimbing skripsinya. Â
Dilansir dalam artikel berita bbc.com (2022), salah satu unggahan video pengakuan penyintas di akun instagram yang menerangkan pada 27 November 2021 ketika ia menemui Syafri Harto di ruangan dekan untuk bimbingan proposal skripsi, ia dilecehkan melalui tindakan verbal yang diucapkan oleh Syafri Harto diawali dengan kata kata "I love you" yang membuat penyintas tidak nyaman. Kemudian ketika ia memutuskan ingin berpamitan, Syafri Harto malah menggenggam tangan penyintas dan mencium pipi dan keningnya. Saat itu, penyintas merasa ketakutan dan menundukkan kepalanya, namun Syafri Harto malah memaksakan mendongakkan kepala penyintas dan berkata "bibir mana bibir". Dengan kejadian tersebut, penyintas mengadukan kejadian kepada fakultas dan rektorat.Â
Penyintas juga telah melakukan pengajuan kasus tersebut pada jalur hukum, akibat tidak direspons oleh kampusnya dengan baik. Tanggal 5 November, penyintas pun melaporkan kejadian tersebut ke Polresta Pekanbaru. Syafri Harto membantah segala tuduhan pelecehan yang dituduhkan terhadap dirinya, dan ia menilai bahwa rumor ini berkaitan dengan pengajuannya sebagai calon rektor Universitas Riau tahun depan, bahkan Syafri Harto juga mengancam menuntut penyintas sebesar 10M atas pencemaran nama baik.Â
Namun ternyata pada 18 November, Ditreskrimum Polda Riau menetapkan Syafri Harto sebagai tersangka, penetapan tersebut belum membuat Syafri Harto dipecat di jabatannya, sehingga upaya mahasiswa saat itu adalah mendemo berkali-kali, hingga akhirnya Syafri Harto dinonaktifkan sementara pada 21 November. Selama proses hukum yang berlaku, 17 Januari Syafri Harto ditahan oleh Kejaksaan Negeri Pekanbaru. Proses ini berlangsung selama berbulan-bulan hingga akhirnya 30 Maret majelis hakim menyatakan Syafri Harto tidak bersalah dan menolak tuntutan.Â
Hal ini terjadi akibat dari Syafri Harto yang selama persidangan membantah semua kesaksian penyintas, serta hakim yang menilai tidak ada cukup bukti dan saksi. Sedangkan saksi ahli kejiwaan RS Bhayangkara menyatakan bahwa baik penyintas maupun terdakwa tidak mengalami halusinasi. Akhirnya Universitas Riau berupaya untuk melakukan penyelidikan sejak Desember sampai Februari dengan membentuk Satuan Tugas.Â
Satuan Tugas tersebut merekomendasikan sanksi administratif terhadap pelaku. Menurut Komahi, sebagai lembaga yang mendampingi penyintas juga mengungkapkan bahwa apabila kasus ini diselesaikan dengan prosedur yang baik, dapat selesai sejak awal, namun saat itu yang terjadi menunjukkan sebaliknya, Universitas belum siap menyelesaikan dan justru meminta pihak luar untuk terlibat menekan pelaku yang memiliki track record jabatan tinggi tersebut.Â
Dari kasus tersebut menunjukkan bahwa upaya ketegasan dari Universitas sebagai institusi pendidikan yang sudah seharusnya melindungi keamanan terhadap pelaku merupakan kunci utama untuk memproses kasus kekerasan seksual di Perguruan Tinggi, akibat dari ketidaktegasan institusi pendidikan inilah menyebabkan pelaku masih bersikap dan merasa berwenang tanpa salah, dengan hal tersebut juga tentu menunjukkan betapa kuatnya relasi kuasa yang terjadi dalam kasus kekerasan seksual di Universitas Riau dan bentuk kelalaian Universitas untuk melindungi penyintas.
C. Menyingkap Relasi Kuasa dalam Kasus Kekerasan Seksual Â
Relasi kuasa merupakan sebuah unsur yang dipengaruhi oleh adanya kekuasaan pelaku atas ketidakberdayaan penyintas. Ketimpangan relasi kuasa sendiri diartikan oleh Komnas Perempuan (2007) sebagai keadaan dimana pelaku menyalahgunakan kewenangannya dalam hal pengetahuan, ekonomi, maupun status sosialnya untuk mengendalikan penyintas.Â
Berdasarkan hal tersebut, menunjukkan bahwa terdapat dua unsur penting yang ada dalam definisi relasi kuasa yaitu, sifatnya yang hierarki dengan menunjukkan kedudukan atau posisi antar individu, dan unsur kedua yaitu adanya ketergantungan, artinya bergantung pada orang lain karena status individu tersebut, dengan unsur tersebut juga dinilai oleh Foucault sebagai pemicu timbulnya kekuasaan yang disalahgunakan, kekuasaan ini bersifat resiprokal yaitu relasi yang meluas dengan kekuasaan yang sedang dipegang.Â
Pada kasus ini, konsep kekuasaan yang dimaksudkan Foucault merupakan kekuasaan yang ada pada dalam diri individu, dimana antar individu memiliki pengetahuan terkait kekerasan seksual. Suatu kasus dianggap pelecehan seksual apabila terdapat individu yang merasa dirugikan dengan tindakan sensual oleh individu lain. Pelaku yang merupakan dosen memiliki kuasa dalam relasinya terhadap penyintas (mahasiswi Hubungan Internasional Universitas Riau) tersebut.Â
Berbagai usaha dilakukan oleh penyintas untuk melaporkan kejadian yang dialaminya, namun banyak kali menghadapi hambatan dari luar. Dalam hal ini, Karami (2020) menjelaskan bahwa kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi seringkali tidak terlihat ke permukaan layaknya gunung es, karena pelaku tidak mau bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya dan dampak yang dirasakan oleh penyintas.Â
Dengan kekuasaan yang dimiliki, Syafri Harto divonis bebas dari hukuman yang seharusnya diterima. Disinilah wujud bahwa adanya relasi kuasa sebagai dosen pada mahasiswi penyintasnya yang memiliki ketidakberdayaan. Adanya indikasi penyelewengan. Kekuasaan ini menyebabkan banyak kasus-kasus serupa memilih bungkam. Sehingga, dampak yang ditimbulkan dari relasi kuasa tersebut tidak hanya rasa cemas dan takut, namun juga berbahaya bagi kesehatan psikis dan fisiknya, biasanya timbul turunnya kondisi fisik akibat trauma yang mendalam (Artaria, 2012). 7Namun tidak dipungkiri, penyintas juga seringkali merasa tersudutkan akibat ketidakberdayaannya.Â
Ketidakberdayaan inilah yang dimanfaatkan oleh pelaku untuk menyerang balik bahkan menghambat penyintas yang ingin melaporkan kejadian kekerasan seksual tersebut. Relasi kuasa ini menjadi kompleks karena dipengaruhi oleh konstruksi gender, usia, bahkan kekuasaan lainnya. Terduga pelaku yang memiliki posisi sebagai dosen tentunya memiliki relasi di banyak sektor terkait. Misalnya relasi dengan kiai, polisi, masyarakat, dan sebagainya. Relasi tersebut dimanfaatkan demi kepentingan penguasa.Â
Penyintas kekerasan seksual saat ini tidak hanya dirugikan dalam hal seksualnya saja, namun juga dalam proses pencarian keadilan yang semakin tidak mudah, seperti pada kasus ini adalah hambatan yang dialami oleh penyintas LM yang akhirnya menuntut langsung untuk menemui Nadiem Makarim, dan mempertanyakan implementasi dari Permendikbudristek No. 30 tahun 2021 mengenai Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) yang dinilai dapat melindungi penyintas.Â
Secara fakta menyatakan bahwa dampak yang dirasakan para penyintas seringkali dianggap remeh, sehingga pelaku dibebaskan dari konsekuensi karena relasi kuasa yang dimilikinya, apalagi Syafri Harto selaku dosen dan dekan. Bahkan dugaan yang beredar menyatakan bahwa Syafri Harto sebagai pelaku yang divonis bebas masih diperbolehkan mendaftar sebagai calon rektor Universitas Riau.
D. Kebijakan Pemberantasan Kekerasan SeksualÂ
Berbagai kasus kekerasan seksual di tingkat perguruan tinggi yang sudah marak tentu menjadi urgensi bersama, bagaimana upaya yang dapat dilakukan untuk memerangi kasus kekerasan seksual. Berdasarkan pendapat Komnas Perempuan sendiri meminta setiap perguruan tinggi untuk berkomitmen dalam mengimplementasikan Permendikbud 30/2021.Â
Peraturan ini dibuat dan diterapkan sebagai langkah yang baik untuk menuju lingkungan pendidikan yang aman, sehat, dan nyaman tanpa kekerasan seksual. Peraturan yang dibuat oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi ini membahas tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi. Dalam aturan ini menjabarkan terkait upaya penanganan, pencegahan, dan pemberian sanksi terhadap pelaku kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.Â
Melalui adanya Permendikbud-Ristek PPKS akan lebih baik apabila diberikan jalan dan dianggap sebagai langkah positif pemerintah untuk memberikan regulasi tetap untuk melindungi penyintas kekerasan seksual. Dengan adanya regulasi tersebut, diharapkan perguruan tinggi dapat dengan segera menanggapi dengan memberikan langkah strategis menciptakan regulasi internal sebagai penyediaan ruang aman, sehat, dan nyaman bagi penyintas kekerasan seksual.Â
Pemberian sosialisasi dan penciptaan lembaga investigasi khusus kepada civitas akademika kampus dapat digalakkan oleh berbagai pihak kampus demi memberikan ruang publik yang dapat digunakan sebagai tempat bercerita dan berkeluh kesah untuk seluruh pihak. Selain itu, kewajiban bagi perguruan tinggi yaitu memberikan keberpihakannya pada penyintas dengan wujud penyediaan pendampingan sejak awal hingga selesai dan secara menyeluruh seperti jasa psikolog bagi penyintas untuk menghilangkan rasa trauma. Dengan adanya fasilitas lengkap tersebut tentu dapat mewujudkan nilai perlindungan institusi pendidikan agar terhindar dari tindakan kekerasan seksual.Â
PENUTUPÂ
E. KesimpulanÂ
Kekerasan seksual dapat terjadi dimana saja, kapan saja dan siapa saja, bahkan di tempat seseorang menimba ilmu sekali pun. Banyak mahasiswi perguruan tinggi yang mendapatkan kekerasan seksual tersebut, dan beberapa kasus dilakukan oleh dosen yang mengampunya. Dalam teori kuasa Michel Foucault mengemukakan bahwa kekuasaan bersifat menyebar dan tidak dapat dialokasikan, artinya kekuasaan dapat tercipta dari mana saja
Seperti yang kita ketahui dalam ruang kelas kekuasaan tertinggi jatuh kepada dosen, sangat disayangkan seharusnya kekuasaan tersebut dapat dipergunakan dengan baik. Hal ini yang menyebabkan maraknya kasus kekerasan seksual. Kekerasan seksual sebagai permasalahan yang menjadi perhatian bersama dan perlunya mendapatkan penanganan agar dapat menjamin terciptanya rasa aman bagi masyarakat, namun pada kasus dosen Universitas Riau ini memberikan hasil yang cukup mengejutkan publik bahwa dengan kekuasaan yang dimiliki, Syafri Harto divonis bebas dari hukuman yang seharusnya diterima. Disinilah wujud bahwa adanya relasi kuasa sebagai dosen pada mahasiswi penyintasnya yang memiliki ketidakberdayaan karena tidak cukupnya bukti dalam persidangan.Â
Hasil tulisan ini ditemukan bahwa penyintas kekerasan seksual saat ini tidak hanya dirugikan dalam hal seksualnya saja, namun juga dalam proses pencarian keadilan yang semakin tidak mudah, seperti pada kasus ini adalah hambatan yang dialami oleh penyintas LM yang akhirnya menuntut langsung untuk menemui Nadiem Makarim dan mempertanyakan implementasi dari Permendikbudristek No. 30 tahun 2021, sebagai wujud dari kuatnya relasi kuasa yang merugikan para penyintas. Â
Daftar Pustaka
- bbc.com. (2022, April 15). Retrieved from Kasus pelecehan seksual Universitas Riau: Terdakwa divonis bebas, Nadiem Makarim temui korban untuk proses sanksi administratif: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-61111705Â
- Foucault, Michael. "Questions on Geography". dalam Power/Knowledge: Selected Interviews & Other Writings 1972-1977, ed. Colin Gordon, Sussex: Harvester Press, 1981. RusyidiÂ
- Foucault, Michael. "Truth and Power". dalam Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972-1977. ed. Colin Gordon, Sussex: Harvester Press, 1981
- Fuadi, M. A. (2011). Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Sebuah Studi Fenomenologi. Jurnal Psikologi Islam, 191-204.
- Harnoko, B. R. (2012). DIBALIK TINDAK KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN. MUWAZAH: Jurnal Kajian Gender, 2(1). https://doi.org/10.28918/muwazah.v2i1.16Â
- Maharani, T. (2021, November 12). Kompas.com. Retrieved from Tentang Relasi Kuasa dalam Kekerasan Seksual yang Diatur Permendikbud 30/2021: https://nasional.kompas.com/read/2021/11/12/07220921/tentang-relasi-kuasa-dala m-kekerasan-seksual-yang-diatur-permendikbud-30Â
- Poerwandari, E. K. (2000). Kekerasan Terhadap Perempuan Tinjauan Psikologi. Jakarta: Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia.Â
- Riyan. (2022, Desember 16). CNN Indonesia. Retrieved from Mahasiswi Korban Pelecehan Seksual Unri Datangi Nadiem Minta Keadilan: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220414191541-20-785007/mahasiswikorban-pelecehan-seksual-unri-datangi-nadiem-minta-keadilanÂ
- Rusyidi, B., Bintari, A., & Wibowo, H. (2019). Pengalaman dan pengetahuan tentang pelecehan seksual: studi awal di kalangan mahasiswa perguruan tinggi (experience and knowledge on sexual harassment: a preliminary study among indonesian university students). Social Work Journal, 75-85.Â
- Sulistyaningsih, E., & Faturochman. (2002). Dampak Sosial Psikologis Perkosaan. Buletin Psikologi, 9-20.Â
- Wuryani, S. E. (2008). Pendidikan Seks untuk Keluarga. Jakarta: Indeks.Â
- Karami, A., White, C. N., Ford, K., Swan, S., & Yildiz Spinel, M. (2020). Unwanted Advanced in Higher Education: Uncovering Sexual Harassment Experiences in Academia with Text Mining. Information Processing & Management Â
- Artaria, M. D. (2012). Efek Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampus: Studi Preliminer
- Foucault, Michael. "Questions on Geography". dalam Power/Knowledge: Selected Interviews & Other Writings 1972-1977, ed. Colin Gordon, Sussex: Harvester Press, 1981. RusyidiÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H