Dilansir dalam artikel berita bbc.com (2022), salah satu unggahan video pengakuan penyintas di akun instagram yang menerangkan pada 27 November 2021 ketika ia menemui Syafri Harto di ruangan dekan untuk bimbingan proposal skripsi, ia dilecehkan melalui tindakan verbal yang diucapkan oleh Syafri Harto diawali dengan kata kata "I love you" yang membuat penyintas tidak nyaman. Kemudian ketika ia memutuskan ingin berpamitan, Syafri Harto malah menggenggam tangan penyintas dan mencium pipi dan keningnya. Saat itu, penyintas merasa ketakutan dan menundukkan kepalanya, namun Syafri Harto malah memaksakan mendongakkan kepala penyintas dan berkata "bibir mana bibir". Dengan kejadian tersebut, penyintas mengadukan kejadian kepada fakultas dan rektorat.Â
Penyintas juga telah melakukan pengajuan kasus tersebut pada jalur hukum, akibat tidak direspons oleh kampusnya dengan baik. Tanggal 5 November, penyintas pun melaporkan kejadian tersebut ke Polresta Pekanbaru. Syafri Harto membantah segala tuduhan pelecehan yang dituduhkan terhadap dirinya, dan ia menilai bahwa rumor ini berkaitan dengan pengajuannya sebagai calon rektor Universitas Riau tahun depan, bahkan Syafri Harto juga mengancam menuntut penyintas sebesar 10M atas pencemaran nama baik.Â
Namun ternyata pada 18 November, Ditreskrimum Polda Riau menetapkan Syafri Harto sebagai tersangka, penetapan tersebut belum membuat Syafri Harto dipecat di jabatannya, sehingga upaya mahasiswa saat itu adalah mendemo berkali-kali, hingga akhirnya Syafri Harto dinonaktifkan sementara pada 21 November. Selama proses hukum yang berlaku, 17 Januari Syafri Harto ditahan oleh Kejaksaan Negeri Pekanbaru. Proses ini berlangsung selama berbulan-bulan hingga akhirnya 30 Maret majelis hakim menyatakan Syafri Harto tidak bersalah dan menolak tuntutan.Â
Hal ini terjadi akibat dari Syafri Harto yang selama persidangan membantah semua kesaksian penyintas, serta hakim yang menilai tidak ada cukup bukti dan saksi. Sedangkan saksi ahli kejiwaan RS Bhayangkara menyatakan bahwa baik penyintas maupun terdakwa tidak mengalami halusinasi. Akhirnya Universitas Riau berupaya untuk melakukan penyelidikan sejak Desember sampai Februari dengan membentuk Satuan Tugas.Â
Satuan Tugas tersebut merekomendasikan sanksi administratif terhadap pelaku. Menurut Komahi, sebagai lembaga yang mendampingi penyintas juga mengungkapkan bahwa apabila kasus ini diselesaikan dengan prosedur yang baik, dapat selesai sejak awal, namun saat itu yang terjadi menunjukkan sebaliknya, Universitas belum siap menyelesaikan dan justru meminta pihak luar untuk terlibat menekan pelaku yang memiliki track record jabatan tinggi tersebut.Â
Dari kasus tersebut menunjukkan bahwa upaya ketegasan dari Universitas sebagai institusi pendidikan yang sudah seharusnya melindungi keamanan terhadap pelaku merupakan kunci utama untuk memproses kasus kekerasan seksual di Perguruan Tinggi, akibat dari ketidaktegasan institusi pendidikan inilah menyebabkan pelaku masih bersikap dan merasa berwenang tanpa salah, dengan hal tersebut juga tentu menunjukkan betapa kuatnya relasi kuasa yang terjadi dalam kasus kekerasan seksual di Universitas Riau dan bentuk kelalaian Universitas untuk melindungi penyintas.
C. Menyingkap Relasi Kuasa dalam Kasus Kekerasan Seksual Â
Relasi kuasa merupakan sebuah unsur yang dipengaruhi oleh adanya kekuasaan pelaku atas ketidakberdayaan penyintas. Ketimpangan relasi kuasa sendiri diartikan oleh Komnas Perempuan (2007) sebagai keadaan dimana pelaku menyalahgunakan kewenangannya dalam hal pengetahuan, ekonomi, maupun status sosialnya untuk mengendalikan penyintas.Â
Berdasarkan hal tersebut, menunjukkan bahwa terdapat dua unsur penting yang ada dalam definisi relasi kuasa yaitu, sifatnya yang hierarki dengan menunjukkan kedudukan atau posisi antar individu, dan unsur kedua yaitu adanya ketergantungan, artinya bergantung pada orang lain karena status individu tersebut, dengan unsur tersebut juga dinilai oleh Foucault sebagai pemicu timbulnya kekuasaan yang disalahgunakan, kekuasaan ini bersifat resiprokal yaitu relasi yang meluas dengan kekuasaan yang sedang dipegang.Â
Pada kasus ini, konsep kekuasaan yang dimaksudkan Foucault merupakan kekuasaan yang ada pada dalam diri individu, dimana antar individu memiliki pengetahuan terkait kekerasan seksual. Suatu kasus dianggap pelecehan seksual apabila terdapat individu yang merasa dirugikan dengan tindakan sensual oleh individu lain. Pelaku yang merupakan dosen memiliki kuasa dalam relasinya terhadap penyintas (mahasiswi Hubungan Internasional Universitas Riau) tersebut.Â
Berbagai usaha dilakukan oleh penyintas untuk melaporkan kejadian yang dialaminya, namun banyak kali menghadapi hambatan dari luar. Dalam hal ini, Karami (2020) menjelaskan bahwa kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi seringkali tidak terlihat ke permukaan layaknya gunung es, karena pelaku tidak mau bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya dan dampak yang dirasakan oleh penyintas.Â