Syarat Menjadi Shalihah (Berhijab)
“Kak Hilyah, benar cinta sama ALLAH?”tanya Syamil, adik lelakiku pagi itu.
“Ya tentu!”jawabku. Hufh.. Sepertinya dapat ceramah pagi lagi nih, tebakku.
“Kalau benar cinta sama ALLAH, kenapa kakak tidak istiqamah berjilbab? Kalau tidak berjilbab, apa bedanya penampilan kakak dengan perempuan kafir? Berjiilbab itu bukti cinta muslimah kepada ALLAH, Kak!”todong Syamil.
PLAK! Meski hati kecilku tertampar keras dengan kalimat adik lelakiku itu namun kenyataannya aku justru mendengus sebal. Aku lalu bergegas pergi, tak mau tertodong lagi dengan kalimatnya walau diam-diam kuakui ia memang ‘alim.
BRRUUKK... Buku, alat tulis serta lembaran-lembaran yang tadi kubawa berjatuhan. Karena terburu-buru, aku jadi bertabrakan dengan seorang gadis berhijab syar’i.
“Eh... Kalau punya mata, dipakai dong!”bentakku kesal seusai memungut barangku yang terjatuh, sesekali rambutku tersapu semilir angin lembut di pagi itu.
“Maaf.. Maaf.. Saya tidak sengaja,”ucap si gadis merasa bersalah seraya tertunduk. Hadeh.. Maaf? Sudah menabrak, tidak membantuku juga memungut barangku. Ih, biasanya kan gadis berhijab syar’i itu baik, ramah, suka membantu. Lha, ini? Aku menggerutu sebal.
“Kak Hanah.. Kak Hanah...”panggil seorang anak perempuan yang mengenakan seragam putih-biru, ia juga berhijab. Ia berlari-lari kecil menghampiriku dan gadis ini.
“Aduh.. Tadi Milah bilang tunggu Milah saja di kursi panjang itu. Kenapa Kak Hanah berjalan sendiri? Kalau kakak kenapa-kenapa di jalan, bagaimana?”tanya anak itu khawatir. Aku berdiri mematung sejenak kemudian bergegas pergi, takut terlambat tiba di kampus.
✿✽✿✽✿
Aku baru tahu bahwa gadis berhijab yang kutemui tadi pagi ternyata adalah tetangga baruku. Ternyata gadis itu buta. Aku jadi merasa bersalah sudah membentaknya tadi pagi. Meski malu-malu, akhirnya kuberanikan diri juga mendekatinya sore itu saat kulihat gadis itu sedang duduk sendirian di ayunan halaman rumahnya.
“Hai.. Hm.. Aku Hilyah, yang tadi pagi tabrakan sama kamu,”sapaku sangat kaku.
“Oh.. Hilyah, ya? Saya Raihanah, panggil Hanah saja,”kata Hanah sopan seraya mengulurkan tangannya yang arahnya tidak tepat ke arahku. Kasihan, dia kan buta..pikirku. Tanpa buang waktu, akupun menyambut uluran tangannya yang begitu hangat. Dengan sangat ramah ia lalu mempersilahkanku duduk di dekatnya.
“Anuu.. Maaf, ya? Tadi pagi aku kasar sama kamu,”ucapku merasa bersalah.
“Iya, tidak apa-apa. Saya juga yang salah karena tidak berhati-hati. Maaf ya..”kata Hanah seraya tersenyum. Wah, cantiknya gadis ini walau ia tidak bisa melihat, gumamku.
Itulah awal perkenalanku dengan Hanah, kami pun akrab. Hanah yang humoris, lemah lembut dan baik hati membuatku sangat nyaman bersamanya. Kedekatanku dengannya membuat rasa parnoku hilang terhadap para perempuan bergamis dan berjilbab besar yang biasanya identik dengan kata ‘teroris’ di media, padahal kan sebenarnya tidak semua perempuan berhijab besar seperti itu. Hal yang membuatku sangat kagum, ketika kutahu dari Milah bahwa Hanah baru saja menyelesaikan hafalannya, 30 juz. Hah.. Kok bisa?, tanyaku.
“Nah, sejak kapan kamu mulai istiqamah berjilbab?”Aku bertanya penasaran, sore itu.
“Alhamdulillaah, sejak masih SD dulu. Kalau Hilyah, sejak kapan?”jawab Hanah sembari balik bertanya. Wajahku serasa langsung merah padam karena malu.
“Ngg.. Aku belum istiqamah berjilbab, Nah. Cuma berjilbab kalau ke acara tertentu dan pas hari raya,”jawabku tersendat. Kulihat ekspresi terkejut dari wajah Hanah dan Milah.
“Lho.. Kenapa Kak? Jilbab kan ciri khas seorang muslimah! Memangnya Kakak tidak malu kalau ada orang yang mengira Kakak non-Islam karena kakak tidak berjiilbab?”tanya Milah. PLAK! Untuk yang kedua kalinya, aku merasa tertampar keras dengan kalimat bocah yang usianya di bawah usiaku. Yang pertama kalimat Syamil, kedua kalimat Milah.
“Anu.. Kakak belum siap Dek.. Kakak ingin menjadi shalihah dulu baru istiqamah berjilbab,”jawabku kikuk, wajahku sepertinya sudah memerah bak tomat matang siap panen.
“Kak, kalau kita cinta sama ALLAH berarti kita harus taat pada-NYA.. Berhijab sebagai bukti cinta kita loh, Kak..”ujar Milah, Hanah mengiyakan.
“Hilyah, setiap muslimah wajib berjilbab karena itu adalah kewajiban, perintah dari ALLAH. Jilbab bukan se-musim, yang hanya dipakai pada waktu tertentu saja. Syarat menjadi shalihah adalah berhijab, tidak mungkin kita meraih predikat shalihah sebelum menutup aurat sesuai perintah-NYA. Jika berjilbab ikhlas karena ALLAH Ta’ala, niscaya akan hadir perisai iman dan taqwa yang membentengi kita dari perbuatan yang tak pantas dilakukan. Ingat, kita tak pernah tahu kapan ajal menemui kita, jadi jangan pernah menunda kebaikan ya? Terlebih lagi kalau kebaikan itu berstatus kewajiban,”jelas Hanah lemah lembut, membuatku jadi tersadar sendiri.
Berhari-hari, aku jadi sering termenung. Duh.. Bagaimana jika sebelum istiqamah berjilbab, malaikat maut lebih dulu menjemutku untuk menemui-NYA, kemudian DIA meminta pertanggungjawaban atas segala perbuatanku selama di dunia, lalu apa yang akan kukatakan? Tubuhku selalu gemetar membayangkan betapa panasnya api neraka dan pedihnya adzab yang akan kuterima.. Tapi aku belum siap berhijab.. Aku belum siap, berontak pikiranku pada hatiku yang sepertinya mulai meronta agar aku segera istiqamah.
✿✽✿✽✿
Ddrrt... Dddrrtt... Ponselku bergetar. Nama “Ukhti Hanah” tertera di sana. Tanpa membuang-buang waktu, aku pun menjawabnya.
“Halo... Assalamu’alaikum..”ucapku.
“Wa’alaikumussalam.. Hilyah.. Alhamdulillaah, ada kabar bahagia hari ini..”tutur Hanah dari kejauhan sana. Aku tersenyum. Biasanya jika Hanah mau meneleponku, ia akan minta tolong pada Milah untuk menghubungkannya ke nomorku.
“Kabar bahagia apa, Nah?”tanyaku antusias mendengar suara bahagia sahabatku.
“Alhamdulillaah.. Ada seorang sukarelawan yang ingin mendonorkan matanya untukku, Yah.. Karena ia divonis berumur tak lama lagi, jadi dia ingin mendonorkan matanya.. In Syaa ALLAH, operasinya pekan depan..”
“Alhamdulillaah... Selamat, ya? Aku turut senang mendengar kabar bahagia ini. Semoga operasinya berjalan lancar.. Aamiin..”responku turut bahagia.
“Aamiin Yaa Rabbal ‘Aalamiin..”
Dua hari kemudian.. Kami menghabiskan waktu berdua di ayunan teras rumah Hanah. Bercanda dan bercerita masa kecil kami. Sesekali, kami tertawa bersama. Tiba-tiba Tante Fitri, ibunya Hanah menghampiri kami dengan wajah murung. Bahkan, kutangkap sisa tangis di wajah beliau. Beliau langsung memeluk Hanah.
“Hanah.. Kamu yang sabar ya, Nak? Ternyata operasi kamu dibatalkan, karena orang yang berniat mendonorkan matanya divonis akan sembuh dari penyakitnya..”ucap Tante Fitri.
Air mata langsung terjatuh dari pelupuk mataku, padahal Hanah sudah begitu bahagia sejak pekan lalu. Kulihat ekspresi wajah Hanah tergurat rasa kecewa, namun berselang beberapa saat ia akhirnya tersenyum.
“Alhamdulillaah.. Masyaa ALLAH, syukurlah jika ia akan segera sembuh, Bu.. Qadarullaah.. Inilah jalan Hanah, Bu. Rencana ALLAH pastilah yang terbaik untuk hamba-NYA..” gumam Hanah. Hatiku tergetar, begitu kokohnya kesabaran sahabatku ini. Begitu lapang dadanya menerima segala ketentuan ALLAH.
“Kamu sangat sabar, Nah.. Aku tidak bisa memiliki kesabaran seperti itu..”pujiku terharu seraya menggenggam tangannya.
“Salah satu tanda cinta kita kepada ALLAH yaitu menerima dengan ikhlas dan lapang dada atas segala kehendak dan ketentuan-NYA. Percayalah, segala sesuatu ada hikmahnya.. Di atas sana, ALLAH telah menyiapkan yang terbaik..”ujar Hanah seraya tersenyum.
Hanah kemudian menghadiahkanku jilbab, gamis dan beberapa buku Islami. Ia juga memotivasiku untuk rutin ikut pengajian. Aku sangat berterima kasih atas kebaikannya.
Akhirnya, aku tahu bahwa ada beberapa syarat hijab syar’i: Pakaian harus menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, bukan busana perhiasan yang justru menarik perhatian, harus longgar-tidak ketat-tidak tipis dan tidak sempit, tidak diberi wangi-wangian atau parfum karena dapat memancing syahwat lelaki, tidak menyerupai pakaian laki-laki, tidak menyerupai pakaian orang-orang kafir dan yang terakhir yaitu bukan untuk mencari popularitas. Astaghfirullaah... Aku yang dulunya terkadang memandang sebelah mata perempuan yang berhijab syar’i karena menganggap mereka tidak modis, ternyata justru aku yang pantas dipandang sebelah mata karena tidak istiqamah dengan kewajibanku menutup aurat. Yang lebih hina, aku pernah berpacaran dan itu berarti aku telah menodai makna kesucian hijab yang seharusnya kujaga sebagai ciri seorang muslimah. Ampuni diri ini Yaa Rabbi.. Seharusnya sejak awal aku sadar bahwa lelaki yang baik takkan mengajak wanita bermaksiat dalam hubungan pacaran yang jelas-jelas dilarang-NYA dalam Surah Al-Isra:32. Tubuhku terguncang, takut akan murka ALLAH karena dosa yang bertumpuk ini. Tak terasa, air mataku mengucur deras seolah tak ingin kalah dengan derasnya air hujan yang turun.
✿✽✿✽✿
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Ahzab:59)
Dengan mengucap basmalah, akhirnya hari ini akupun memantapkan hati untuk istiqamah berhijab syar’i dan aku akan menemui Hanah di rumah sakit. Setelah batal operasi, ternyata beberapa hari kemudian ada telepon dari rumah sakit bahwa ada korban kecelakaan yang sebelum menghembuskan nafas terakhirnya ia ingin mendonorkan matanya. Alhamdulillaah, ALLAH memang Maha Pengasih.
Melihatku berpenampilan ‘tak biasa’ untuk yang pertama kalinya, Syamil memandangiku dengan tatapan isyarat ‘aneh bin ajaib’ dan ia sontak mengucap hamdalah, aku hanya tersenyum. Seharusnya sejak dulu aku mendengar nasehat adikku itu, sesalku dalam hati. Hari ini, perban mata Hanah akan dibuka setelah ia dioperasi. Hanah akan bisa melihat dan ia akan melihatku berhijab syar’i, gumamku senang dalam hati ketika menjalankan motorku menuju ke rumah sakit.
“Sok ‘alim.. Kamu tidak pantas berhijab syar’i, dosamu banyak!”teriak seseorang saat aku baru saja memarkir motorku di parkiran rumah sakit.
Aku terkejut sembari menoleh. Kulihat Wina baru saja keluar dari kantin rumah sakit dan berada beberapa langkah dari posisiku. Sabar, Hilyah.. Sabar! Jangan pedulikan dia, batinku. Dulunya, ia adalah teman dekatku tapi kemudian menjauhiku sejak aku dekat dengan Hanah. Aku bergegas mempercepat langkahku. Tanpa kuduga, rupanya ia membuntutiku dan tiba-tiba menarik jilbabku dari arah belakang hingga terlepas, menyingkap leher dan rambutku. Aku terpekik kaget.
“Kamu keterlaluan!”seruku marah. Berpasang-pasang mata tampak memperhatikan kami, membuatku semakin malu karena aurat ini tersingkap. Kurampas dengan cepat jilbabku dari tangannya lalu kupakai. Wina terkekeh. Hampir saja ia kutampar lalu kujambak rambutnya, bersyukur ALLAH segera menyadarkanku. Aku teringat dengan kata-kata Hanah, “Rasulullaah adalah sosok yang pemaaf. Beliau tak pernah dendam kepada orang-orang yang selalu memusuhi dan berbuat buruk terhadapnya”. Kalimat ini membuatku mengurungkan niat buruk itu, hampir saja aku sukses membuat syaitan tertawa kemenangan melihatku dikuasai amarah. Aku segera beristighfar seraya mengusap dada, berusaha menyabarkan hati.
Aku lalu bergegas pergi sambil menahan air mata yang rasanya sudah ingin lomba lari keluar dari pelupuk mataku. “Ini ujian, Hilyah! Jangan cengeng!”bisikku. Langkahku pun terhenti tepat di depan ruangan Hanah, ia sedang dikelilingi oleh keluarganya. Kuberi isyarat agar Milah tak memberitahu Hanah tentang kedatanganku. Seorang wanita berjas putih lalu masuk bersama dua orang perawat.
“Hanah tak sabar melihat ayat-ayat cinta-NYA,”kata Hanah sambil meraba-raba lembaran Al-Qur’an yang berada di hadapannya. Kulihat, Tante Fitri membelai lembut kepala putri sulungnya itu. Perlahan perban Hanah pun dibuka.
DEG! Hatiku berdesir, tubuhku bergetar mendengar kalimat Hanah. Mataku menghangat, ada sebutir kristal mungil bening yang mulai mengaliri kedua belah pipiku. Aku teringat dengan sepak terjangnya, seorang gadis buta yang berhijab syar’i sekaligus penghafal Qur’an. Ia mengandalkan indera pendengarannya untuk mendengar murottal lalu dihafalnya juga dengan menggunakan Qur’an braile. Aku yang memiliki penglihatan normal bahkan jarang membaca ayat cinta-NYA. Astaghfirullaah.. Fisik ini sempurna tanpa cacat tapi kenapa diri ini tak menyempurnakan rasa syukur dengan menjalankan segala perintah-NYA sejak dulu? Hari ini aku bahkan baru saja memulai perbaikan diri, berbeda dengan Hanah yang selalu berbuat baik dan menambah ‘amal tanpa merasa terbatasi dengan kekurangannya. Lalu, kenapa aku yang mampu melihat tak bisa menyamainya? Apa bukti cintaku kepada-NYA? Dulu, segala nikmat-NYA bahkan hanya kubalas dengan mengabaikan perintah dan larangan-NYA. Astaghfirullaah... Aku terisak dalam kalut dan kegelisahan hati.
“Hilyah..”panggil suara lembut itu. Aku mendongakkan kepala, Hanah sudah berdiri di hadapanku dengan sepasang mata baru. Kupeluk gadis itu penuh haru sembari berterima kasih dan berbisik, “Iya, Hanah.. Kamu benar.. Syarat menjadi shalihah adalah berhijab sesuai syariat. Berhijab adalah salah satu bukti cinta kepada-NYA..”
✿✽✿
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H