Melihatku berpenampilan ‘tak biasa’ untuk yang pertama kalinya, Syamil memandangiku dengan tatapan isyarat ‘aneh bin ajaib’ dan ia sontak mengucap hamdalah, aku hanya tersenyum. Seharusnya sejak dulu aku mendengar nasehat adikku itu, sesalku dalam hati. Hari ini, perban mata Hanah akan dibuka setelah ia dioperasi. Hanah akan bisa melihat dan ia akan melihatku berhijab syar’i, gumamku senang dalam hati ketika menjalankan motorku menuju ke rumah sakit.
“Sok ‘alim.. Kamu tidak pantas berhijab syar’i, dosamu banyak!”teriak seseorang saat aku baru saja memarkir motorku di parkiran rumah sakit.
Aku terkejut sembari menoleh. Kulihat Wina baru saja keluar dari kantin rumah sakit dan berada beberapa langkah dari posisiku. Sabar, Hilyah.. Sabar! Jangan pedulikan dia, batinku. Dulunya, ia adalah teman dekatku tapi kemudian menjauhiku sejak aku dekat dengan Hanah. Aku bergegas mempercepat langkahku. Tanpa kuduga, rupanya ia membuntutiku dan tiba-tiba menarik jilbabku dari arah belakang hingga terlepas, menyingkap leher dan rambutku. Aku terpekik kaget.
“Kamu keterlaluan!”seruku marah. Berpasang-pasang mata tampak memperhatikan kami, membuatku semakin malu karena aurat ini tersingkap. Kurampas dengan cepat jilbabku dari tangannya lalu kupakai. Wina terkekeh. Hampir saja ia kutampar lalu kujambak rambutnya, bersyukur ALLAH segera menyadarkanku. Aku teringat dengan kata-kata Hanah, “Rasulullaah adalah sosok yang pemaaf. Beliau tak pernah dendam kepada orang-orang yang selalu memusuhi dan berbuat buruk terhadapnya”. Kalimat ini membuatku mengurungkan niat buruk itu, hampir saja aku sukses membuat syaitan tertawa kemenangan melihatku dikuasai amarah. Aku segera beristighfar seraya mengusap dada, berusaha menyabarkan hati.
Aku lalu bergegas pergi sambil menahan air mata yang rasanya sudah ingin lomba lari keluar dari pelupuk mataku. “Ini ujian, Hilyah! Jangan cengeng!”bisikku. Langkahku pun terhenti tepat di depan ruangan Hanah, ia sedang dikelilingi oleh keluarganya. Kuberi isyarat agar Milah tak memberitahu Hanah tentang kedatanganku. Seorang wanita berjas putih lalu masuk bersama dua orang perawat.
“Hanah tak sabar melihat ayat-ayat cinta-NYA,”kata Hanah sambil meraba-raba lembaran Al-Qur’an yang berada di hadapannya. Kulihat, Tante Fitri membelai lembut kepala putri sulungnya itu. Perlahan perban Hanah pun dibuka.
DEG! Hatiku berdesir, tubuhku bergetar mendengar kalimat Hanah. Mataku menghangat, ada sebutir kristal mungil bening yang mulai mengaliri kedua belah pipiku. Aku teringat dengan sepak terjangnya, seorang gadis buta yang berhijab syar’i sekaligus penghafal Qur’an. Ia mengandalkan indera pendengarannya untuk mendengar murottal lalu dihafalnya juga dengan menggunakan Qur’an braile. Aku yang memiliki penglihatan normal bahkan jarang membaca ayat cinta-NYA. Astaghfirullaah.. Fisik ini sempurna tanpa cacat tapi kenapa diri ini tak menyempurnakan rasa syukur dengan menjalankan segala perintah-NYA sejak dulu? Hari ini aku bahkan baru saja memulai perbaikan diri, berbeda dengan Hanah yang selalu berbuat baik dan menambah ‘amal tanpa merasa terbatasi dengan kekurangannya. Lalu, kenapa aku yang mampu melihat tak bisa menyamainya? Apa bukti cintaku kepada-NYA? Dulu, segala nikmat-NYA bahkan hanya kubalas dengan mengabaikan perintah dan larangan-NYA. Astaghfirullaah... Aku terisak dalam kalut dan kegelisahan hati.
“Hilyah..”panggil suara lembut itu. Aku mendongakkan kepala, Hanah sudah berdiri di hadapanku dengan sepasang mata baru. Kupeluk gadis itu penuh haru sembari berterima kasih dan berbisik, “Iya, Hanah.. Kamu benar.. Syarat menjadi shalihah adalah berhijab sesuai syariat. Berhijab adalah salah satu bukti cinta kepada-NYA..”
✿✽✿
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H