Mohon tunggu...
Nugraha Wasistha
Nugraha Wasistha Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Penggemar bacaan dan tontonan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Teka-teki untuk Tunggadewi

29 Agustus 2021   10:21 Diperbarui: 11 September 2021   21:52 845
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Emban Alit terpana. Lalu mendadak dia tertawa. Tawa yang pahit. Dan dia masih tertawa ketika digiring keluar Keputren dengan pengawalan ketat.

"Sebenarnya aku salut dengannya," ujar Tunggadewi. "Pikirannya tangkas untuk gadis seusianya. Dia memindahkan mayat Sekarwani supaya tak ada yang curiga kalau pohon itu digunakan menyusup ke bangsal pusaka. Sayang, tindakannya kurang cermat."

Itu bukan sayang tapi syukur, kata Ranutama dalam hati. "Tapi ada yang membuat hamba bertanya-tanya, Gusti. Bagaimana dengan luka-lukanya? Apa dia melukai dirinya sendiri?"

"Tentu tidak, Paman. Justru luka itu membuatku curiga sejak awal. Dua korban pertama dibunuh dengan cara memuntir leher. Kenapa pembunuh itu tak melakukan hal yang sama pada Emban Alit? Padahal lebih mudah melakukan itu padanya. Jawabannya sederhana, pembunuh Sekarwani dan penyerang Emban Alit adalah orang yang berbeda."

Ranutama menepuk jidatnya. "Hamba paham sekarang! Emban Alit dilukai Sekarwani saat bertempur di bawah beringin. Karena itu dia pura-pura jadi korban. Sehingga tak perlu menjelaskan asal lukanya. Dan supaya tak ada yang curiga, dia kembalikan keris itu ke pinggang Sekarwani. Itulah kenapa Gusti Ratu mengendus keris Sekarwani. Ada bau darah segar di sana."

Tunggadewi mengangguk. "Dia juga pura-pura hilang ingatan karena tak ingin menuduh siapa pun lebih dulu. Masih ada rencana lain terkait pencurian warangan. Dia ingin kambing hitam yang sama untuk rencana itu. Tapi saat mengetahui aku tertarik pada beringin, dia tak punya pilihan. Dia harus menuduh seseorang agar tak ada alasan lagi meneruskan penyelidikan."

Ranutama berdecak. "Pantas Rakrian Wulunggeni bilang hamba akan terpingkal-pingkal kalau buru-buru menyatakan kecurigaannya. Siapa yang mengira gadis belia itu ternyata licin dan berilmu tinggi. Sungguh sedih membayangkan Wulunggeni dan Sekarwani harus berkorban nyawa karenanya."

"Tapi pengorbanan mereka tak sia-sia," sahut Tunggadewi. "Rencana Emban Alit jadi terungkap sebelum terlaksana. Aku tak tahu siapa yang mengirimnya, tapi tujuannya jelas. Meracuniku dengan warangan, lalu menuduh emban lain sebagai pelakunya. Racun itu gampang dikenali. Jika aku sampai keracunan, pasti terlacak di makananku. Emban Alit tinggal menaruh kendi berisi warangan itu di kamar emban yang lain. Itu cukup untuk memfitnah emban tersebut."

Mendengar semua itu, Emban Ayu seperti tak kuat lagi. Dia menangis sesenggukan. Emban Alot pun memeluknya. "Nah, nah, tak apa-apa, Dimas Ayu. Dimas Alit seperti itu karena sering diganggu genderuwo. Jadi tak usah khawatir. Genderuwo itu kan tak pernah mengganggumu. Nanti aku tebang saja beringin itu biar genderuwonya pergi."

"Hey, Dimas Alot keliru," kata Emban Amben. "Aku sudah bilang, justru Dimas Ayu yang sering digoda genderuwo. Dia sendiri yang bilang. Menurutku jangan ditebang. Mending dikasih sesajen saja."

"Sudah, diam," bentak Emban Ayu dengan nada yang betul-betul geram. "Kalian berdua ini konyol. Bicara terus soal genderuwo. Pakai otak kalian. Ini sama-sekali tidak urusannya dengan genderuwo, tahu!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun