Tunggadewi langsung memeriksa kedua korban. Sekarwani jelas tak tertolong. Emban Alit sepertinya sama saja. Banyak luka di sekujur tubuhnya. Tapi saat memeriksa pergelangan tangannya, Tunggadewi terperanjat. "Dia masih hidup!"
Tanpa buang waktu, Tunggadewi menekan dada Emban Alit beberapa kali. Mencoba melakukan nafas buatan. Pada tekanan ketujuh, terdengar sentakan nafasnya. Matanya terpentang lebar. Dia seperti baru melihat sesuatu yang mengerikan. Dan tangisnya meledak. Tunggadewi memeluknya.
"Pelakunya orang yang sama, Gusti Ratu," kata Patih Ranutama yang memeriksa mayat Sekarwani. "Jurus puntirannya sama. Arahnya juga. Satu-satunya yang bisa saya simpulkan, pelakunya bukan orang kidal. Tapi tentu saja fakta seperti itu tak ada gunanya."
"Aku tak yakin dengan kata 'mengalahkan', Paman," Tunggadewi menunjuk keris di pinggang Sekarwani. "Senjatanya masih tersarung. Dia dibunuh sebelum sempat melawan. Ah, apa ini?"
Tunggadewi menyentuh sesuatu yang tersangkut di rambut Emban Alit. Sesuatu yang kecil dan bulat. Setelah diperhatikan, itu adalah buah beringin.
"Aneh sekali," kata Patih Ranutama yang ikut memperhatikan. "Hamba juga menemukan buah yang sama di rambut Sekarwani."
Tunggadewi memperhatikan benda itu sambil berpikir keras. Lalu, entah kenapa, dia meminta Ranutama mencabut keris Sekarwani dan memberikan padanya. Sang Patih heran ketika Tunggadewi mengendus-endus bilah keris itu. Seperti berusaha mencium baunya.
"Menarik," gumam Tunggadewi kemudian. "Ya, ini menarik sekali."
Ranutama tak mengerti apa yang menarik dari bau keris, atau apa hubungannya dengan kasus ini. Apapun, sekarang ada kemajuan. Dia punya saksi hidup. Setelah Emban Alit tenang, gadis itu tentu bisa bercerita siapa pembunuhnya.
Dan sepertinya harapan itu akan terkabul. Emban Alit berangsur tenang. Apalagi setelah mayat Sekarwani dipindahkan dan Tabib Raganata yang datang memberi ramuan hangat. Gadis belia itu menarik nafas dalam-dalam, dan mulai bercerita...
"Saat itu hamba sedang menata ruang makan, Gusti Ratu," ujarnya. "Tiba-tiba terdengar suara benda jatuh di serambi ini. Tak terlalu keras, tapi masih kedengaran dari ruang makan. Hamba langsung memeriksa dan...mengerikan sekali...hamba melihatnya memuntir leher Nimas Sekarwani...dan langsung menyerang hamba...hamba langsung menjerit...dan tak ingat apa-apa lagi.."