"Aku tahu kau pasti akan datang disertai gemuruh gegap-gempita, Mada," ujar Sang Senopati sambil menyeringai. "Tapi aku sama-sekali tak mengira bakal segemuruh ini. Sangat menakjubkan, kalau boleh kubilang. Ya, tentu saja aku menontonnya sejak awal tadi. Belum pernah kulihat hiburan sehebat ini."
Gajah Mada langsung merasa ada yang tidak beres. Kenapa keparat itu begitu percaya diri? Seolah tidak cuma mengetahui, tapi bahkan mengharap kedatangannya. Aneh sekali. Separuh pasukannya hancur, dan dia malah bertepuk tangan? Apa yang sedang terjadi di sini?
Meski begitu banyak pertanyaan, tapi Gajah Mada tetap saja bertindak duluan. Soal bertanya itu belakangan. Dia menyerbu dan membanting kedua pengawal Senopati sampai obor mereka berhamburan. Lalu dalam sekejab, dia sudah mengacungkan keris - senjata terakhirnya - ke tenggorokan Senopati Angkrang. Baru setelah itu dia bertanya, "Di mana Maharaja?"
Sang Senopati tidak mundur setapak. Juga tidak kelihatan takut. Dia hanya menggeleng-geleng. Seperti orang tua yang sedih melihat kenakalan anaknya. "Kau tahu apa kelemahanmu?" ujarnya acuh saja. "Watakmu mudah sekali ditebak. Kau bisa saja menjadi raja Majapahit terbesar, tapi kau sia-siakan saja kesempatan itu. Kenapa? Karena kau terlalu naif. Keperwiraan, kesatriaan, pengabdian...kau terlalu tergila-gila dengan hal-hal seperti itu. Padahal semuanya omong-kosong."
Gajah Mada mencengkeram leher Senopati Angkrang dan mendorongnya sampai ke tembok. Sambil mengacungkan keris tinggi-tinggi, mantan Mahapatih itu membentak, "Katakan di mana Maharaja atau aku akan...."
"Berhenti!"
Seruan itu mengejutkan Gajah Mada. Dia mengenali suaranya. Cepat-cepat dia berpaling dengan perasaan tak percaya. Tapi ternyata memang benar. Yang berseru tadi adalah Maharaja Hayam Wuruk sendiri! Anehnya, dia tak terlihat seperti orang yang tengah disandera. Tak ada ketakutan, ketegangan, bahkan kelelahan di wajahnya. Tak nampak juga adanya pengawal yang mengawasi gerak-geriknya. Benar-benar seperti orang bebas. Apa yang terjadi di sini?
"Selamat datang, Ayah," kata Hayam Wuruk sambil tersenyum. "Ya, aku tahu kau adalah ayahku. Dan aku juga tahu kenapa kau menutupinya. Senopati Angkrang telah menjelaskan semuanya. Kau menutupi itu karena kau tidak benar-benar menyayangiku. Seperti kau tidak benar-benar mencintai ibunda Ratu Tunggadewi. Bagimu, kami hanyalah alat untuk menggapai hasratmu akan tahta."
Gajah Mada merasa seolah dipukul tepat di ulu hatinya. Dia sekarang tahu apa yang terjadi. Hal seperti ini kadang terjadi pada kasus penyanderaan. Seorang sandera bisa percaya, hormat, bahkan cinta pada penyanderanya. Apalagi jika penyanderanya sosok yang licik. Sosok seperti Senopati Angkrang.
"Dengar," kata Gajah Mada, seraya melepaskan Senopati Angkrang dan menghampiri Hayam Wuruk, "Memang salahku tak pernah memberi tahu dirimu. Tapi aku melakukannya bukan karena tidak menyayangimu. Justru sebaliknya. Aku...aku tak punya nyali menikahi seorang Ratu. Dirimu pantas memiliki ayah yang sederajat dengan ibumu. Bukan kalangan jelata seperti aku."
Hayam Wuruk terdiam sambil mengamati bawahan sekaligus ayah kandungnya itu. Seolah mempertimbangkan masak-masak apa yang dikatakannya. Setelah beberapa lama berdiam diri, akhirnya dia membuka mulut, "Jadi kau benar-benar menyayangiku? Seperti wajarnya seorang ayah menyayangi putranya?"