Tidak ada yang melihat anak panah itu mendarat di satu api unggun. Beberapa memang mendengar bunyi kemeretak ketika bola peraknya menghantam tumpukan bara. Tetapi saat itu terjadi, semua sudah terlambat. Bubuk hitam dalam bola terkena panas dan bereaksi seperti gunung meletus. Meledak dengan dahsyat. menghancurkan anggota gerombolan yang berdekatan. Menghamburkan bara menyala-nyala ke segala penjuru.
Berturut-turut, Gajah Mada melesatkan sisa anak panah. Ditembakkan ke api unggun lainnya. Terjadi ledakan berturut-turut yang mengguncang benteng. Mengubahnya jadi neraka yang menyala-nyala. Sebagian gerombolan sampai terlempar oleh kuatnya ledakan. Sebagian lagi berlarian dengan tubuh terbakar. Sebagian lagi terlalu ketakutan untuk berbuat apapun. Hanya berlari-lari menghindari hujan api.
Mengenakan baju hitam yang dirampas dari korban pertama, Gajah Mada keluar dari persembunyian. Dia bergabung dalam kekacauan itu. Dengan serenteng pisau lempar dan jarum beracun, dia bergerak gesit di antara gerombolan. Membunuh satu persatu tanpa berdekatan. Teralihkan oleh api dan ledakan, tak satu pun menyadari kehadiran dan perbuatannya.
Tak butuh waktu lama, separuh dari gerombolan sudah tumbang meregang nyawa.
Saat senjata jarak jauh itu sudah habis, Gajah Mada tidak berhenti. Dia ganti menghunus pedang besar, lalu menyelinap ke bangunan terbesar di tengah benteng - yang dijaga lebih ketat dari bangunan lainnya. Nalurinya mengatakan di sanalah sasaran yang dicari berada. Dia harus berada di dalam sebelum kekacauan ini mereda.
Ada lima penjaga di depan gerbang bangunan itu. Semua bersenjata pedang dan perisai. Tapi mereka bukanlah tandingan Gajah Mada. Apalagi semuanya sedang terguncang oleh kekacauan. Hanya dalam satu kelebatan pedang, tiga pengawal tertebas roboh. Satu kelebat lagi, dua terpenggal kepalanya.
Tanpa menengok lagi, Gajah Mada menyerbu ke dalam dan mendaki anak tangga ke lantai utama. Tak ada penjaga lain yang ditemui. Suasananya terlihat gelap dan sepi. Itu membuatnya khawatir. Keributan di luar harusnya membuat semua berhamburan. Tapi suara satu orang pun tidak dia dengar. Seolah bangunan ini kosong. Apakah dia salah perhitungan?
Baru saja pertanyaan itu terlintas, ketika terdengar desingan tajam di kegelapan. Dekat sekali dari posisinya. Secara naluriah, Gajah Mada mengayunkan pedangnya ke arah sumber suara. Seketika bilahnya membentur sesuatu yang keras - dan bertenaga besar. Cukup besar untuk membuatnya terhuyung dan kehilangan keseimbangan.
Gajah Mada terguling di tangga, namun cepat bangkit kembali. Diterangi kobaran api dari luar, dia melihat sosok bertubuh raksasa berdiri menjulang. Wajahnya kekanakan seperti orang terbelakang mental. Tapi hanya itu kelemahannya. Badannya lebih besar dan lebih berotot dari Gajah Mada. Gerakannya juga lebih gesit. Dan pedangnya jauh lebih besar!
Ini bukan hal mengejutkan. Banyak pihak melatih orang berkelainan jasmani dan rohani. Untuk dijadikan penjaga. Mereka sangat kuat, tidak bisa disuap, dan tak kenal takut. Rupa-rupanya dalang penculikan ini juga menempatkan penjaga seperti ini. Tak heran dia tak terpengaruh keributan di luar. Menjaga dan menjaga. Hanya itu yang ada di kepalanya.
Dengan umpatan yang lebih mirip raungan, raksasa itu menerjang. Pedang besarnya terayun, mengeluarkan suara menderu. Gajah Mada hampir terlambat menangkis. Lawannya kali ini sebanding. Atau bahkan lebih hebat. Gajah Mada bisa didesak mundur. Terus dan terus mundur. Kalau sampai mencapai gerbang, bisa bahaya. Sisa gerombolan di luar bisa-bisa melihat dan mengepungnya.