Malam menyelimuti deretan bangunan batu yang terbentang di puncak bukit Kamoksan. Dulunya bangunan-bangunan itu digunakan penganut agama lama, namun sudah lama ditinggalkan setelah agama baru menyebar di tanah Jawa. Meski demikian, beberapa waktu terakhir situasinya berbeda. Ratusan gerombolan bersenjata mengambil alih dan menggunakannya sebagai benteng.
Dua anggota gerombolan jadi saksi awal betapa benteng itu tak sekuat dugaan mereka. Yang pertama sedang buang air di balik pohon, ketika satu bayangan tahu-tahu menyergap. Mencekiknya sampai lemas. Beberapa saat kemudian, anggota kedua menemukan tubuh rekannya yang malang itu. Terkapar dekat semak-semak. Saat memeriksa, sesuatu menyeruak dari balik semak. Mematahkan lehernya tanpa sempat melawan.
Tentu saja keduanya tak punya kesempatan. Karena yang menyerang mereka adalah mantan Mahapatih Majapahit. Ya, Gajah Mada sendiri yang beraksi menyerbu sarang gerombolan itu. Tanpa bala tentara yang menyertai. Hanya berbagai senjata yang melekat di badan, bungkusan kain merah yang misterius, dan tubuh yang dilumuri arang agar menyatu dalam kegelapan.
Gajah Mada sadar ini akan jadi perang paling menentukan dalam hidupnya. Dan, yang tak kalah penting, juga jadi pertempuran paling pribadi. Keberadaannya di sini bukan demi menyelamatkan kerajaan - toh dia bukan lagi seorang Mahapatih. Tapi semata-mata untuk menyelamatkan anak tunggalnya.
Sang Maharaja Hayam Wuruk.
Itu rahasia yang seharusnya tak diketahui siapa pun. Bahkan Hayam Wuruk sendiri tak mengetahui. Demi keamanan dan kejiwaannya. Tapi Senopati Angkrang, pimpinan pasukan pribadi Maharaja, mengetahui rahasia itu. Dia menculik Hayam Wuruk dan menyanderanya di benteng ini. Lalu memaksa Gajah Mada membunuh Ratu Tunggadewi. Tujuannya menciptakan kekacauan, agar bisa mengambil-alih tahta.
Tapi Senopati Angkrang tak memperhitungkan kenekadan Gajah Mada. Bukannya mengikuti perintah, dia memilih menyatroni benteng dan melakukan tindak penyelamatan. Seorang diri! Tentu saja pertama kali yang harus dilakukan adalah menyeimbangkan keadaan. Jumlah musuh harus dikurangi sebanyak mungkin. Dalam waktu sesingkat-singkatnya.
Sang mantan Mahapatih menyelinap di antara pepohonan. Mengendap-endap dalam kegelapan. Matanya mengawasi posisi anggota gerombolan yang berjaga. Kebanyakan mengerumuni beberapa api unggun yang dinyalakan di beberapa titik. Udara memang sangat dingin. Dan pakaian hitam-hitam mereka tidak cukup tebal buat menghangatkan diri.
Gajah Mada membuka bungkusan kain merah. Ada selusin bola perak sebesar tinju dengan ukiran huruf China. Majapahit merampasnya bertahun-tahun lalu dari pasukan Mongol. Mereka menyebutnya Nafas Naga bukan tanpa alasan. Ada bubuk berwarna hitam di dalamnya. Dibuat dari campuran bahan yang biasanya untuk bumbu dan jamu.
Entah bagaimana orang-orang Mongol itu bisa mengetahui sebuah rahasia. Jika bahan-bahan tersebut dicampur dalam takaran tepat, hasilnya adalah sesuatu yang mengerikan.
Gajah Mada mengikat semua bola perak itu pada pucuk-pucuk anak panah. Dia membawa setengah lusin, lengkap dengan busurnya. Tangannya bergerak begitu cekatan walau di tengah kegelapan. Sekejab saja, semua sudah siap digunakan. Dia mulai membidik dengan busurnya. Arahnya agak mendongak. Satu anak panah segera mendesing lepas. Membuat gerak lengkung di ketinggian sebelum menukik ke sasaran.