Sambil menahan nafas, penguasa Majapahit itu memperhatikan pasukannya yang menembus kabut dalam hutan. Sesaat tak terdengar apapun lagi. Hanya kesunyian mencekam. Lalu tiba-tiba pasukannya kembali. Kuda-kuda mereka berderap keluar hutan, tapi semua pengendaranya lunglai di pelana. Tanpa nyawa!
Bahkan sebelum Hayam Wuruk sempat memperlihatkan emosinya, kejutan berikutnya sudah menyusul. Sesuatu menyerupai awan gelap melesat dari hutan. Menggegana ke langit lalu menukik ke arah prajurit Bhayangkara yang tersisa. Hayam Wuruk terbelalak saat menyadari apa itu sebenarnya.
Ribuan anak panah!
Hayam Wuruk pasti sudah tewas jika bukan karena Senopati Angkrang. Dia melompat dari kuda dan mendorong Hayam Wuruk ke balik sebuah pohon tumbang. Batangnya yang besar melindungi mereka. Tapi prajurit lainnya tak seberuntung itu. Ribuan anak panah menghujani tanpa ampun. Tak menyisakan satu pun yang hidup.
Hayam Wuruk seperti bermimpi buruk. Beberapa saat lalu dirinya masih aman bersama seratus prajurit. Tahu-tahu mereka semua sudah tewas. Ini jelas sebuah jebakan yang dijalankan dengan sangat licin. Dan hanya satu orang yang bisa melakukannya....
"Gusti Prabu," kata Senopati Angkrang dengan nada getir. "Sepertinya kekhawatiran hamba terbukti, tapi tetap saja gagal mencegahnya. Hamba bersedia dihukum mati setelah ini. Tapi sebelumnya...."
"Sudahlah," potong Hayam Wuruk dengan tegas. "Paman Angkrang tidak gagal. Justru sebaliknya. Paman benar-benar belajar dari pemberontakan Ra Kuti. Tapi belajar di sini punya pengertian ganda. Bukan begitu, Paman?"
Untuk sesaat, wajah Senopati Angkrang nampak terkesima. Tapi, secepat kilat, seutas senyum tersungging di sana. "Gusti Prabu lebih cerdas dari dugaan hamba. Ya, hamba memang belajar dari pemberontakan Ra Kuti. Bukan untuk mencegah, melainkan menirunya. Bagaimana Gusti bisa tahu?"
Hayam Wuruk tak segera menjawab. Dengan tenang, dia keluar dari tempat perlindungan mereka, memandang sayu pada jazad para prajurit yang berserak di antara bangkai-bangkai kuda. "Aku mungkin belia, tapi tidak bodoh. Penyergapan ini terlalu berhasil. Dan jika diperhatikan baik-baik, kaulah yang membuatnya demikian."
Pandangannya berubah dingin ketika beralih pada sang Senopati. "Kau sengaja memecah pasukan, agar mudah dikalahkan anak buahmu di hutan sana. Sepertiga kuduga diserang dengan semacam perangkap harimau - itulah yang menyebabkan mereka menjerit. Sepertiga lagi kuduga diserang sumpit beracun. Baru sisanya dengan panah-panah ini."
Lalu Maharaja muda itu menunjuk tempat perlindungan mereka. "Pohon tumbang ini bukan kebetulan ada di sini. Kau sudah mempersiapkannya, untuk berlindung dari hujan panah. Sangat rapi sekali rencanamu, Paman. Kuduga kau juga yang menipu utusanku, agar mengira Gajah Mada memintaku keluar istana."