Setelah berbulan-bulan pencarian, akhirnya didapat kabar keberadaan Gajah Mada di sekitar wilayah Blambangan. Hayam Wuruk segera mengirim utusan ke sana. Di luar dugaan, Gajah Mada menolak datang. Dia ingin Hayam Wuruk sendiri yang menemuinya.
Tentu saja para penasehat istana menganggap itu berbahaya. Tapi akhirnya disepakati jalan tengah. Hayam Wuruk berangkat dengan dikawal prajurit Bhayangkara terbaik. Mereka akan bergerak menghindari keramaian, dengan menyamar sebagai pengembara biasa.
"Maafkan ketidak-nyamanan ini, Gusti," kata Senopati Angkrang setelah memeriksa kesiagaan prajuritnya. "Tapi hamba adalah saksi hidup saat petaka menimpa keraton Majapahit. Petaka yang terjadi karena kurangnya kewaspadaan. Hamba tak ingin itu terjadi lagi."
Hayam Wuruk mengangguk. Dia mengerti maksud Senopati Angkrang, yang merujuk pada pemberontakan Ra Kuti. Sebuah pemberontakan yang sangat licin. Tak ada yang mencurigai Ra Kuti, karena dia juga pengawal mendiang Maharaja Jayanegara. Kedudukan yang diperoleh setelah bertahun-tahun menunjukkan kesetiaan.
Tak sampai di situ saja. Meski akhirnya gagal merebut tahta, namun Ra Kuti berhasil membunuh Jayanegara. Dengan cara yang tak kalah licin. Dia menjadikan dirinya sebagai pengalih perhatian, sementara sekutunya yang bernama Ra Tanca berhasil mendekati Maharaja dan membunuhnya.
"Ya, kita beruntung biang petaka itu bisa dibunuh paman Gajah Mada," kata Hayam Wuruk, menyembunyikan fakta bahwa Gajah Mada adalah ayahnya. "Dan aku beruntung memiliki Senopati sepertimu, Paman Angkrang. Kesetiaanmu pada tahta mungkin hanya bisa ditandingi paman Gajah Mada."
Sebenarnya Hayam Wuruk merasa kasihan. Senopati Angkrang sudah hampir setua Gajah Mada. Seharusnya sudah jadi Mahapatih jika Gajah Mada tidak terlalu besar pengaruhnya. Bahkan saat Hayam Wuruk memintanya menduduki jabatan itu sepeninggal Gajah Mada, dia menolak. Alasannya tetap ingin mengabdi sebagai pengawal.
Senopati membalas pujian itu dengan senyuman tulus dan anggukan hormat. "Sejak kecil hamba bercita-cita jadi prajurit. Sekarang, saat Dewata sudah mengabulkannya, tak ada lagi yang hamba inginkan selain mengabdi selamanya."
Saat itulah tiba-tiba terdengar jeritan mengerikan. Datangnya dari dalam hutan. Tak hanya sekali. Berulang-kali terdengar jeritan yang hampir sama. Seperti ada sekumpulan orang yang dibunuh secara keji.
"Itu suara prajurit hamba!" seru Senopati Angkrang kaget. Tapi hanya sebentar. Dengan sigap, dia mencabut pedang dan menyerukan perintah. Separuh pasukan Bhayangkara disuruh menyusul ke hutan. Sisanya diperintahkan merapat ke sekeliling Hayam Wuruk. "Jangan biarkan satu lalat pun mendekati Gusti Prabu!"
Hayam Wuruk tak kalah kaget. Dia paham perjalanan seperti ini bisa berbahaya, tapi tak mengira bahaya itu akan sungguh-sungguh terjadi. Tanpa sadar tangannya meraih gagang keris di ikat pinggangnya. Berharap prana pusaka itu benar-benar bisa diandalkan.