Mohon tunggu...
Nugraha Wasistha
Nugraha Wasistha Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Penggemar bacaan dan tontonan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sherlock, Sinetron, dan Sepasang Korban

15 Januari 2021   00:17 Diperbarui: 9 Maret 2021   19:28 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar diambil dari pxhere

Dua korban itu ditemukan dalam mobil yang diparkir di balik pepohonan, tak jauh dari jalan raya dekat obyek wisata terkenal. Keduanya berusia muda. Sekitar dua puluhan. Laki dan perempuan.

Yang lelaki, baik wajah maupun pakaiannya biasa saja. Bahkan terkesan miskin. Di kantongnya cuma ada dompet butut dan hape jadul.

Sebaliknya, yang perempuan bukan cuma cantik. Pakaian, perhiasan, dan telepon pintarnya bukan barang murahan. Demikian juga isi dompet di kantong celananya . Mobil yang ditumpangi juga diketahui sebagai milik si perempuan.

Perempuan itu dicekik sampai mati, tanpa tanda-tanda kekerasan seksual. Sementara si lelaki meninggal dengan mulut berbusa. Pemeriksaan menunjukkan dia minum racun serangga.

Satu kaleng racun serangga memang ditemukan di jok belakang. Isinya tinggal separo.

Tapi yang dramatis, ada sepucuk surat yang diletakkan di dashboard. Isinya singkat, puitis, dan mengerikan.

'Cintaku yang terlanjur lepas ternyata tak berbalas. Semoga di alam sana dia lebih lapang dada.'

Sepertinya apa yang terjadi sudah jelas. Si lelaki membunuh perempuan itu sebelum membunuh dirinya sendiri.

AKP Rahadian yang menangani kejadian itu menggeleng-gelengkan kepala. "Kukira kejadian seperti ini sudah lewat musim. Seperti sinetron saja. Sudah diketahui siapa mereka?"

"Farah Fitria, itu nama yang tertera di kartu penduduk," sahut wakilnya, Kompol Bayu. "Sudah menikah. Suaminya pemilik resto soto daging yang cabangnya di mana-mana itu."

"Kau yakin?" Rahadian mengerutkan kening. "Aku sering makan di situ lho. Pemiliknya gemuk berkacamata tebal. Dan sudah paruh baya. Bukan pemuda dekil ini."

"Karena pemuda ini memang bukan suaminya. Almarhum bernama Alfian, seorang buruh pabrik rokok. Masih bujangan dan tinggal di kosan."

"Ah," kata Rahadian sambil mengangguk-angguk. Lalu, saat memperhatikan jenazah perempuan itu, dia kembali mengernyit. "Dan aku berani bersumpah, ini bukan istri si juragan soto itu. Istrinya sudah berumur dan tidak secantik ini."

"Itu karena yang ini istri mudanya," kata Kompol Bayu sambil nyengir.

"Ah."

......

Kadjat Fuali, suami korban, menanggapi kabar buruk itu dengan helaan nafas panjang. Lensa kacamata yang tebal membuat ekspresinya terkesan lucu, sesedih apapun dia.

"Dia memang istri kedua saya, Pak," ujar pria itu. "Baru setahun lalu menikah. Dulunya dia pelayan di salah satu cabang. Keluarganya miskin sekali. Saya ingin mengangkatnya dari jurang kemiskinan. Benarkah lelaki yang bersamanya bernama Alfian?"

AKP Rahadian mengangguk. Dalam hati ia bertanya, apakah Kadjat akan tetap sebaik itu jika Fitria tidak sebening artis sinetron.

"Seharusnya saya menanggapi omongan Fitria dengan serius," Kadjat melanjutkan. "Jika itu saya lakukan, mungkin dia masih hidup."

Rahadian langsung tertarik. "Korban bilang sesuatu kepada anda?"

Kadjat mengangguk. "Dia bilang Alfian itu mantannya. Setelah Fitria menikah dengan saya, Alfian sepertinya masih kangen. Dia terus-menerus berusaha menghubungi Fitria. Minta bertemu dengannya. Awalnya Fitria menolak. Malah saya yang membujuknya agar bersedia."

Kompol Bayu langsung melotot. "Anda membujuknya supaya mau ketemu? Kenapa?"

Kadjat menghela nafas sekali lagi. "Saya kira Alfian itu orang baik, Pak. Dia sempat makan di warung saya, bahkan minta ketemu. Dia jujur mengakui sebagai mantannya Fitria, lalu minta tolong untuk bisa bertemu. Alasannya, waktu saya menikahi Fitria, dia bekerja di Malaysia. Fitria memutuskan hubungan tanpa memberi kesempatan dia untuk bicara."

Rahadian memperhatikan mata di balik lensa tebal itu, mencari apakah ada ketololan di sana. "Maaf ya, Pak. Kebanyakan orang akan menganggap permintaan itu kurang ajar. Kenapa Bapak sampai menganggap dia orang baik?"

Kadjat berpikir sejenak sebelum menjawab, "Itu kesan saya setelah ngobrol dengannya. Orangnya kalem. Sopan sekali. Berkali-kali dia minta maaf atas kelancangannya. Dari ucapannya, kedengaran dia sangat menderita. Saya jadi trenyuh, Pak."

"Bapak tidak takut kalau Fitria balik dengannya?" tanya Bayu.

Pertanyaan itu ternyata membuat Kadjat kebingungan. Bahkan seperti malu-malu. Dia menoleh ke arah sang istri pertama yang selama ini duduk di sampingnya. Seperti minta bantuan.

Rohana, sang istri pertama, dengan kalem menjawab, "Suami saya tahu kalau Fitria tak akan mau balik sama Alfian, Pak."

"Oh ya?" tanya Rahadian heran. "Kenapa?"

Rohana tersenyum. "Seperti yang suami saya bilang, Fitria itu dari keluarga miskin. Tidak ada yang lebih dia inginkan selain kekayaan. Semua orang bisa tahu begitu berbincang dengannya. Dia itu wanita yang setia dengan siapapun yang bisa memberi kekayaan. Alfian itu mungkin ganteng, tapi suami saya kaya. Fitria minta mobil saja langsung dibelikan.'

"Maksud Ibu....dia matre, begitu?" tanya Bayu.

"Saya tidak ingin bicara yang buruk-buruk, Pak," kata Rohana. "Tapi begitulah kira-kira."

AKP Rahadian tidak tahu harus bingung atau takjub. Cara berpikir orang kadang tak cuma beragam, tapi bisa di luar dugaan. Tadi Kadjat membujuk istri mudanya bertemu mantan. Sekarang Rohana bilang suaminya mau saja menikahi cewek matre.

Tapi dipikir-pikir, jaman sekarang siapa yang tidak matre. Kadjat bukan orang dungu. Dia hanya pragmatis. Dan juga taktis. Selama Fitria terus dimanjakan dengan harta, dia tak perlu khawatir istrinya kabur. Alfian pasti akan minder kalau melihat Fitria sekarang. Itu jika Alfian memang pemuda yang baik.

Tapi sayangnya Kadjat salah menulai orang!

"Saat mau ketemu Alfian, apakah Fitria sempat memberitahu akan bertemu di mana?" tanya Rahadian.

Rohana menggeleng. "Dia tinggal di rumah sendiri. Dibelikan suami saya.Tidak pernah ke sini. Telpon juga jarang."

Rahadian menoleh pada Kadjat. "Kalau Bapak?"

Dia juga menggeleng. "Saya menyuruhnya ketemu di sini saja. Tidak apa-apa. Toh sampai malam saya di warung. Tapi Fitria sungkan sama Rohana. Dia juga tidak mau ketemu di rumahnya sendiri. Nanti jadi gunjingan tetangga, katanya."

"Dia sama-sekali tidak bilang mau ke mana?" desak Rahadian.

"Sayang sekali tidak, Pak..."

Rahadian agak jengkel pada Kadjat. Jadi orang kok polos amat. Sepertinya itu watak sebagian orang. Kalau soal duit, bisa jadi brilian. Tapi urusan cinta, naifnya tak ketulungan.

"Tapi maaf, Pak," tiba-tiba Kadjat bertanya. "Apa tidak mungkin mereka berdua korban perampokan, misalnya?"

Rahadian memberi isyarat pada Bayu. Dengan singkat wakilnya itu menceritakan kondisi TKP. Lalu menunjukkan surat yang ditemukan.

Kadjat berusaha menyesuaikan jarak kertas dengan kacamatanya. "Maaf, Pak. Saya sulit membacanya. Mata saya rabun. Kalau mau memakai hape di warung, saya minta bantuan pembantu. Susah melihat apapun di layar."

Rohana membacakan isi pesan. Lalu perempuan itu berkomentar, "Sepertinya Alfian suka nonton sinetron, Pak."

"Sinetron?" Rahadian mengerutkan kening.

"Iya, Pak," sahut Rohana. "Ini mirip sinetron yang tayang hari Sabtu lalu. Sore-sore. Saya baru ingat. Ceritanya mirip. Pemuda membunuh pacarnya, lalu menulis surat seperti ini sebelum bunuh diri. Isi suratnya sama persis!"

.......

Kemudian AKP Rahadian dan Kompol Bayu menengok kosan Alfian. Kosan itu sederhana. Perabotannya mimimalis. Hanya kasur di lantai, lemari plastik berisi pakaian, dan meja kecil. Tak ada barang lain.

"Ya iyalah Kadjat tidak cemas istri mudanya pindah ke lain hati," gumam Bayu saat melihat isi kamar kos itu.

Kepada pemilik kos, Rahadian bertanya apa yang dia ketahui soal Alfian.

"Orangnya kalem dan pendiam, Pak. Jarang bergaul dengan yang lain. Kalau shift pagi, pulang langsung tidur. Kalau malam sama juga. Dia tak pernah ambil cuti. Ke pabrik terus tiap hari. Jarang keluyuran juga. Bulan ini cuma dua kali dia pergi sepulang dari pabrik. Termasuk yang kemarin itu. Saya kira baru punya pacar atau bagaimana. Eh, ternyata malah meninggal...."

"Yang sebelumnya bapak tahu ke mana?" tanya Rahadian.

"Iya, Pak. Dia ngomong sama saya. Katanya mau ke warung soto daging terkenal itu. Tumben pikir saya. Makanya saya kira dia baru punya pacar..."

Rahadian dan Bayu saling berpandangan. Alfian memang benar-benar menemui Kadjat untuk berbicara.

........

Sore itu juga, Rahadian mengajak Bayu ke warung soto legendaris itu. Rame sekali di sana. Kadjat mengatakan begitulah keadaannya setiap hari.

"Biasanya menjelang sore sampai jam sembilan malam saya sibuk sekali. Terutama hari Sabtu dan Minggu," ujarnya. "Kadang saya sampai baru bisa makan sehabis tutup. Biarpun pegawai di sini banyak, saya tetap turun tangan sendiri. Pengalaman bicara, Pak. Kalau tidak begitu, biasanya mereka sering ceroboh. Tapi besok saya tutup sehari buat mengurus almarhum istri saya."

Rahadian mengangguk-angguk. Dia memperhatikan warung soto tersebut. Meskipun direnovasi total, Kadjat tetap mempertahankan bentuknya yang mirip pendopo tua. Demikian juga suasananya. Bunyi gamelan terdengar dari stereo yang jernih. Satu-satunya barang elektronik di antara suasana yang klasik itu.

Entah kenapa, Rahadian tersenyum.

......

"Terus terang, saya tidak mengerti," Kompol Bayu akhirnya bertanya pada AKP Sugara. "Kenapa kita berhenti di sini?"

Maklum kalau Bayu kebingungan. Selepas dari warung soto, ternyata atasannya tidak balik ke markas. Dia malah mengajak wakilnya berputar-putar sejenak, sebelum memarkir mobil dinasnya dekat rumah Kadjat.

"Ada yang harus kita bicarakan dengan Kadjat sekali lagi," sahut Rahadian kalem. "Baru setelah itu kasusnya tuntas."

Bayu kebingungan. "Bukannya sudah tuntas?"

"Menurutmu ini kasus apa?" Rahadian balik bertanya.

"Kematian ganda. Pembunuhan, lalu pelaku bunuh diri."

Rahadian menggeleng. "Tidak ada bunuh diri. Ini kasus pembunuhan ganda."

.......

"Apaaa??" Kadjat terbelalak. Baru beberapa menit lalu dia kaget melihat dua perwira polisi itu menunggu dia malam-malam. Sekarang dia lebih kaget lagi mendengar perkataan Rahadian.

"Alfian tidak membunuh Fitria," kata Rahadian dengan tenang. "Dia juga menjadi korban pembunuhan."

"Tapi surat itu...."

"Hanya buat mengecoh," tukas Rahadian. "Untuk membuat orang berpikir Alfian membunuh Fitria lalu bunuh diri."

"Tapi siapa yang membunuhnya?" tanya Kadjat spontan, sebelum dia menyadari kenapa mereka datang malam-malam. "Bapak....bapak menuduh saya??"

Bukannya menjawab, Rahadian malah bertanya pada Rohana, "Saya atau Ibu yang harus menjelaskan?"

Rohana menatapnya beberapa saat, sebelum tersenyum pasrah. "Bapak polisi ternyata pintar-pintar. Iya, saya yang membunuhnya. Tidak secara langsung. Saya suruh Jabir, pembantu, untuk melakukannya. Tapi saya yang merencanakan. Racun serangga dan surat itu ide saya semua. Saya suruh Jabir membuntuti, memaksa Alfian minum racun - dengan ancaman untuk membunuh Fitria jika pemuda itu menolak, lalu tetap membunuh Fitria setelahnya."

"Demi Tuhan," teriak Kadjat. "Kenapa kau melakukannya? Kau cemburu?"

Rohana menggeleng dengan dingin. "Aku melakukannya untukmu. Aku tidak ingin kau sakit hati jika sampai Fitria balik sama Alfian. Aku ingin kau berpikir Fitria tetap setia padamu."

Kadjat kebingungan. "Tapi bukankah Fitria memang setia....??"

Rohana tertawa. "Kau dan yang lain mungkin mengira begitu. Bahwa Fitria itu matre sehingga tidak mungkin kembali pada mantannya yang miskin. Aku pura-pura sependapat. Tapi aku tahu semua tuduhan itu salah."

"Kau...kau tahu dari mana?"

"Sejak awal Fitria bercerita padaku. Dia menerima lamaranmu karena dipaksa orang tuanya. Dia minta mobil dan segala macam itu bukan karena dia matre, tapi karena benci padamu. Itu cara dia untuk mengatakan bahwa kau harus membayar mahal untuk mendapatkan tubuhnya."

Kadjat melotot sampai kacamatanya melorot.

Rohana melanjutkan, "Sewaktu mendengar Alfian mau bertemu, Fitria memutuskan untuk kabur bersamanya. Aku tahu karena dia juga bercerita padaku. Fitria mengira aku akan senang karena tidak lagi punya saingan. Dia keliru."

"Ke...keliru?"

Rohana mengangguk. Matanya sendu. "Aku sama-sekali tidak keberatan kau menikah lagi. Aku sangat mencintaimu. Yang kuinginkan hanyalah kebahagiaanmu. Aku justru sangat marah saat Fitria mengkhianati kepercayaanmu."

Kompol Bayu hanya bisa ternganga mendengar semua itu.

........

"Saya benar-benar bingung," kata Bayu saat kembali ke markas. "Bagaimana anda bisa tahu kalau itu pembunuhan?"

Rahadian meminum kopinya pelan-pelan. Tak ada yang lebih nikmat dari kopi hangat setelah menyelesaikan kasus.

"Kalau mau pinjam istilahnya Sherlock Holmes," kata Rahadian. "It's elementary. Sederhana saja. Ada ketidak-sesuaian antara petunjuk dan realita yang ada."

"Masih gelap buat saya," kata Bayu terus-terang. "Petunjuknya pasti surat itu. Tapi realita mana yang tidak cocok?"

Rahadian tersenyum. "Isi surat itu kan menjiplak sinetron. Jadi siapapun yang menulisnya pasti pernah menonton sinetron tersebut."

Bayu berpikir-pikir. "Tapi bagaimana anda langsung berpikir dalangnya adalah Rohana? Darimana anda bisa yakin Alfian tidak pernah menonton sinetron itu?"

"Makanya lain kali buka mata dan telinga baik-baik," kata Rahadian dengan nada pedas. "Ingat waktu kita memeriksa kamar kos Alfian? Coba katakan apa isinya?"

"Eh...hampir tidak ada apa-apa. Hanya kasur, lemari plastik, meja...."

"Ada televisi di sana?" potong Rahadian.

Bayu terkejab. Dia terdiam sejenak sebelum bergumam, "Astaga.....!"

"Persis. Dan seperti kata bapak kosnya, Alfian itu jarang bergaul. Bahkan dengan teman satu kos. Dari pabrik langsung pulang dan tidur. Dengan kebiasaan seperti itu, bagaimana dia bisa menonton sinetron kalau tidak ada televisi di kamarnya?"

"Kan bisa saja lewat aplikasi di hapenya?" Bayu tak mau kalah.

"Kau ingat kondisi di TKP, bukan? Apa yang ditemukan di kantong Alfian?"

"Dompet butut, hape jadul....." mata Bayu pun terbelalak. "Hape jadul! Benar juga! Tidak mungkin dia nonton dari barang semacam itu!"

"Nah, sudah bisa berpikir kan sekarang?" sindir atasannya.

"Tapi kenapa anda langsung mengarah ke Rohana? Kenapa tidak mencurigai Kadjat?"

"Ah, cobalah berpikir sendiri. Masa tidak bisa. Kan kamu tadi juga ikut ke warung sotonya?"

Bayu berpikir keras. Lalu perlahan matanya berbinar. "Ah, di warungnya juga tidak ada televisi. Cuma ada perangkat stereo! Tapi kan bisa saja nonton di tempat lain?"

"Kamu lupa sesuatu," sahut Rahadian. "Rohana sendiri bilang sinetron itu diputar Sabtu sore kemarin."

Bayu seketika menepuk jidatnya. "Walah! Iya, saya lupa! Tidak mungkin dia nonton televisi pada sore hari. Apalagi pas hari Sabtu. Soalnya itu jam sibuk di warungnya."

"Bagus."

"Tapi Kadjat punya smartphone! Kalau dia bisa saja nonton di situ."

Rahadian menggeleng. "Kau tahu sendiri dia itu rabun. Kacamatanya setebal itu. Dia sendiri bilang, susah melihat apapun di layar smartphone."

Bayu mengerang. "Ya ampun! Kenapa saya bisa lupa. Tentu saja. Tidak mungkin Alfian dan Kadjat tahu soal sinetron itu. Dengan sendirinya hanya ada satu tersangka yang tersisa, yaitu Rohana! Satu-satunya yang tahu soal sinetron itu!"

Rahadian mengangguk sebelum menghabiskan kopinya.

"Tapi tolol juga dia. Sok memberi tahu kalau isi surat itu menjiplak sinetron," kata Bayu sambil meringis. "Kalau tidak melakukannya, mungkin kejahatannya tidak terbongkar."

"Makanya jangan kebanyakan nonton sinetron kalau ingin melawan Sherlock Holmes," canda Rahadian. "Sudah banyak yang bilang, nonton sinetron tidak baik buat otakmu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun