Menghormati Hak Asasi Manusia: Walaupun demokrasi Pancasila menekankan musyawarah, hak asasi manusia tetap dihormati dan dilindungi. Setiap warga negara memiliki hak untuk menyampaikan pendapat, memilih pemimpin, dan menikmati kebebasan dasar lainnya.
Pemberdayaan Rakyat: Dalam demokrasi Pancasila, rakyat memiliki peran aktif dalam pengambilan keputusan politik. Ini tercermin dalam pemilu yang dilaksanakan secara langsung dan bebas, di mana rakyat memilih pemimpin mereka.
Kepemimpinan yang Bijaksana: Demokrasi Pancasila juga menuntut adanya pemimpin yang bijaksana, yang mampu mendengarkan suara rakyat dan bertindak untuk kepentingan bersama, bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Melihat prinsip itu, secara keseluruhan, demokrasi Pancasila berusaha menciptakan sistem pemerintahan yang mengutamakan musyawarah, menghormati hak asasi manusia, dan menjamin keadilan serta kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
POLITIK UANG MENCEDERAI DEMOKRASI PANCASILA?
Pertama, perlu  diketahui bahwa, Lebih dari 40% negara di seluruh dunia telah mengadopsi undang-undang yang membatasi sumbangan kampanye sebagai cara untuk membatasi pengaruh uang dalam politik (IDEA 2014). Di satu sisi, batasan pada sumbangan politik dapat mencegah kebijakan yang menguntungkan kepentingan yang memiliki uang. Di sisi lain, batasan kontribusi dapat dianggap sebagai hambatan bagi kebebasan dalam mengekspresikan preferensi dan arus informasi yang diterima pemilih melalui pengeluaran kampanye. Meskipun pembatasan sumbangan kampanye banyak diterapkan dan ada argumen yang masuk akal untuk mendukung dan menentangnya, penilaian empiris terhadap dampaknya, serta pemahaman tentang mekanisme mendasar di balik efek-efek tersebut, masih terbatas.
Setelah kita mempelajari pengaruh pembatasan sumbangan kampanye terhadap perilaku donor selama pemilihan wali kota Kolombia tahun 2011, penugasan kontrak publik setelah pemilihan tersebut, dan yang terpenting, kinerja kontrak-kontrak tersebut. Dengan melacak dampak regulasi hingga pada kinerja kontrak pemerintah, kami memberikan bukti baru tentang bagaimana pembatasan sumbangan kampanye dapat membatasi pengaruh uang dalam politik.
Diawal  menunjukkan bahwa terdapat bias yang kuat dalam pengeluaran publik yang menguntungkan donor kepada kandidat pemenang. Mengikuti pendekatan regresi diskontinuitas pemilu ketat yang diajukan oleh Boas, Hidalgo, dan Richardson (2014), kami menunjukkan bahwa donor kandidat pemenang menerima, rata-rata, tiga kontrak lebih banyak dibandingkan dengan donor kepada kandidat yang kalah, yaitu peningkatan 184% dalam jumlah rata-rata kontrak yang diterima oleh donor kepada dua kandidat teratas. Ketika kami fokus pada kontrak yang diberikan dalam kategori kontrak yang memberi wali kota lebih banyak kebebasan dalam memilih penerima kontrak dengan pengawasan yang lebih sedikit, kategori nilai minimum, kami menemukan bahwa kontrak yang diterima oleh donor pemenang memiliki nilai 28% lebih besar dibandingkan dengan kontrak yang diberikan kepada donor kandidat yang hampir kalah dalam pemilihan.
Selanjutnya, kita bertanya  apakah pembatasan kampanye dapat membatasi manfaat yang diterima oleh donor kandidat pemenang. Mempelajari pertanyaan ini secara empiris cukup menantang karena regulasi pendanaan kampanye mungkin dipengaruhi oleh persepsi publik tentang korupsi dan tekanan dari kepentingan pribadi terhadap pembuat kebijakan. Selain itu, sulit untuk mempertimbangkan semua faktor historis, budaya, dan kontekstual yang menentukan baik pembatasan pendanaan kampanye maupun perilaku korup. Kami memanfaatkan fakta bahwa di Kolombia, batasan sumbangan kampanye dalam pemilihan wali kota bervariasi sesuai dengan ambang batas yang ditetapkan berdasarkan jumlah pemilih terdaftar. Menggunakan desain regresi diskontinuitas (RD), kami menemukan bahwa pelonggaran batasan jumlah total sumbangan untuk kampanye dari 58 juta menjadi 110 juta peso (sekitar 17.000 hingga 32.000 dolar AS) mengarah pada, rata-rata, tiga kontrak publik lebih banyak dari berbagai jenis kontrak dan dua kontrak nilai minimum lebih banyak bagi donor wali kota.
PENDIDIKAN DEMOKRATIS Â MASIH PERLUKAH?
 Apakah perlu pendidikan demokrasi?  Pendidikan demokratis berfungsi sebagai titik fokus utama dari berbagai wacana politik, menarik untuk disimak lebih jauh. Kajian  saat ini paling tidak ada Dua wacana yang menentang pendidikan demokrasi, yakni  (elitistik dan neoliberalisme) dan enam wacana yang mendukung pendidikan demokratis (kaum liberal, deliberatif, multikulturalis, partisipatif, kritis, dan agonistik, sehingga  membentuk maknanya tersendiri