Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Bendera Tauhid Hangus bersama Perasaan Kami

23 Oktober 2018   09:28 Diperbarui: 23 Oktober 2018   21:18 1195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bendera bertuliskan syahadat (dok. Republika)

Saya sedang dalam proses penulisan cerpen untuk Bulan Bahasa, ketika berita yang cukup ngenas melintas di linimasa. Dan sungguh, jika ada suatu peristiwa yang mampu menghentikan saya menulis fiksi, lalu beralih ke opini, tentu peristiwa tersebut mengandung perkara serius, setidaknya bagi saya.

Begini.

Oknum Banser (Barisan Ansor Serbaguna) yang bernaung di tubuh GP (Gerakan Pemuda) Ansor, salah satu badan otonom NU, membakar bendera bertuliskan kalimat syahadatain dalam peringatan Hari Santri Nasional di Lapangan Alun-Alun Limbangan, Garut, pada Senin, 22 Oktober 2018.

Sejumlah media dan televisi swasta telah mengejar klarifikasi kepada Ketua Umum GP Ansor, Yaqut Cholil Qoumas, dan Ketua PP GP Ansor, Saiful Rahmat Dasuki, serta jajaran Muspida Garut.

Setidaknya, terdapat dua perkara yang tengah diusut, yaitu asal muasal bendera itu hadir di tengah-tengah peserta acara, dan motif di balik pembakarannya.

Selama dalam proses penyelidikan, segala keterangan masih dalam tataran spekulatif. Namun, beberapa skenario yang memungkinkan, antara lain:

1.) Ada oknum Banser yang sengaja membawa bendera tersebut sebagai aksi teatrikal "menjaga kesucian kalimat tauhid".

2.) Ada peserta acara yang membawa bendera tersebut, lantas diambil oleh Banser, dan dibakar, karena dianggap sebagai simbol HTI yang telah dilarang beraktivitas di Indonesia.

3.) Bendera tersebut ditemukan tercecer, lantas dibakar, agar tidak terkotori, terbuang, atau malah dikibarkan dengan potensi menimbulkan keresahan.

4.) Skenario berisi agenda lain yang hanya diketahui dan layak dibalas oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Keempatnya, akan menimbulkan reaksi dan pertanyaan lanjutan yang beragam. Karena itu, saya tidak akan membahas segala yang kurang pasti. Pun tidak ingin melangkahi pihak-pihak yang berwenang mengusut tuntas peristiwa ini.

Faktanya, ada beberapa oknum Banser yang membakar bendera hitam bertuliskan kalimat syahadatain di Lapangan Alun-Alun Limbangan, Garut.

Kita fokus di sini. 

Karena, saya hendak meluruskan keterangan dari Bapak Saiful dan Bapak Yaqut, terkait perlakuan terhadap bendera tersebut, serta poin-poin lain dalam kasus ini.

#0
Silakan Anda cari pada berbagai media, keterangan senada yang terlontar dari Bapak Saiful dan Bapak Yaqut. Keduanya, mencoba menjelaskan alasan oknum Banser yang melakukan pembakaran.

Mereka berdalih, Banser ingin menyelamatkan kalimat tauhid, sebagaimana jika kita menemukan sobekan/potongan mushaf Al-Qur'an, maka boleh dibakar agar tidak terhinakan, tercecer, disalahgunakan, atau terbuang di tempat yang tidak semestinya.

Lalu?

Ya, benar. Sobekan dan/atau Al-Qur'an yang tercecer, rusak, atau tidak lagi digunakan, boleh dibakar. Kita dapat menemukan hujahnya pada berbagai kitab, dan merujuk pada cara Utsman bin Affan RA menjaga keaslian, kesucian, dan ketetapan isi Al-Qur'an hingga hari kiamat.

Logika oknum Banser, yang lantas diamini oleh Ketua GP Ansor, yaitu memusnahkan benda bertuliskan kalimat Allah yang salah guna, boleh dilakukan dengan cara pembakaran. Agar musnah seluruhnya, dan lebih terjaga dari kehinaan.

Apakah benar demikian?

Saya bukan orang yang tepat untuk menjelaskan soal benar atau tidaknya logika ini.

Jika benar, maka tak ada masalah. Namun jika salah, maka berlandaskan pada ketidaktahuan, dan sekiranya hanya ustaz sekaliber Adi Hidayat, Lc., MA, yang dapat meluruskan. Wallahu 'alam.

#1
Maka, terlepas dari latar belakang perbuatan oknum Banser yang masih simpang siur dan hanya akan menjadi sebatas pengakuan, saya justru ingin menyoroti perkara bendera dalam syariat Islam.

Apakah benar bahwa bendera yang sering kali dikibarkan oleh kader HTI merupakan panji Rasulullah?

Logo Hizbut Tahrir Indonesia (republika.co.id)
Logo Hizbut Tahrir Indonesia (republika.co.id)
Percayalah, jangan gegabah dengan vonis benar atau salah. Untuk mendapat penjelasan yang absah, kita memerlukan kajian yang mendalam, termasuk penelusuran sumber hadits dan segala macam penilaiannya. Saya kurang paham, dan tidak ingin menebar kesalahan atau kebohongan bahwa saya memahaminya.

Yang dapat saya sampaikan, adalah benar, bahwa pada masa Rasulullah SAW masih menjejak di muka bumi, umat Islam memiliki panji yang disebut Ar-Rayah dan Al-Liwa', sebagai penanda posisi, sekaligus pemersatu pasukan.

Secara bahasa, keduanya berkonotasi pada Al-'Alam (bendera). Sementara secara syariat dan wujudnya, silakan temukan kitab yang lebih kredibel.

Dan, saran saya, mohon jangan googling.

#2
Lebih dari itu, apa arti sebuah bendera?

Untuk mampu memahami dan berempati, renungkan pertanyaan ini dengan membayangkan entitas bendera merah putih. Seberapa sakral?

Ya, bagi kami, atau setidaknya saya, Ar-Rayah lebih dari sekadar lembaran kain bertuliskan syahadatain.

Tauhid, persaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah, merupakan dasar dari segala prinsip Islam. Inilah pemersatu umat Islam di segala penjuru bumi.

Sementara itu, Ar-Rayah dan Al-Liwa', seperti apa pun wujudnya, menjadi kehormatan, deklarasi, sekaligus tanda keberadaan Islam.

Silakan cari dan baca, tentang kekuatan izah bendera yang tertinggal di bukit pada masa Muhammad bin Abi Amir (326 H-392 H).

Juga temukan, kisah para panglima dalam Perang Mu'tah yang mempertahankan panji Islam tetap berkibar untuk menunjukkan bahwa umat Islam masih berjuang. Bahkan, Ja'far bin Abi Thalib bersikeras mengibarkannya dalam kondisi tangan yang buntung karena sabetan pedang.

Lihatkah?

Bagi kami, yang mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi, terseok dan tersengal hidup tertata sesuai tuntunan Islam, kalimat syahadat menjadi harapan bagi kesatuan umat yang saat ini terpecah belah karena berbagai kondisi.

Kalimat tauhid (laa ilaaha illallah) menjadi dasar perjuangan dan pengorbanan. 

Ya, akan selalu mulia, tercetak di mana pun kalimat tersebut.

#3
Bagi umat Islam, tauhid menjadi identitas koletif yang membuat kami tetap satu tubuh.

Ketika kami mengikrarkan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, maka kami pun ingat untuk tidak menuhankan "hal-hal lain", baik dalam wujud harta, jabatan, kebanggaan diri, kecerdasan, atau sekadar prestise.

Semua yang cuma "duniawi" hanya ilusi.

Semua yang cuma beda warna, dapat menyatu kembali.

Pada tauhid, kami bermuara dan menuju abadi.

#4
Apakah kalian hendak bertanya, bagaimana kami memandang NKRI?

Terdapat perbedaan pendapat yang sesungguhnya tidak begitu signifikan, namun "terpoles" sedemikian rupa oleh arogansi, hingga menjadi bahan keributan.

Yang mampu saya tegaskan, dalam keyakinan kami, Islam terdiri dari kebajikan dan nilai-nilai yang ditentukan oleh sumber yang mutlak, yaitu Allah SWT.

Termasuk pula, cara bermasyarakat.

Saya sengaja, tidak mengatakan "bernegara", karena tujuan dari pembentukan negara, tentu akan terwujud pula dalam kesejahteraan dan keluhuran pekerti warganya.

Karena itu, kami menganggap, selama NKRI dapat menjamin tegaknya keadilan, keselamatan, kebenaran, dan kemanusiaan, maka Islam masih hidup di sana.

Namun, saat kezaliman menguak, ketidakadilan, dan segala yang kita sepakati sebagai keburukan perangai mulai semerbak, kami akan melawan.

Bagaimana? Kita satu suara, bukan?

Hanya saja, dalam naungan tauhid, kami akan tetap bergerak tanpa sorotan dunia, tanpa harta, bahkan tanpa daya.

Apabila ada di antara kami yang lantang bersuara hanya karena alasan dunia, kami berlepas diri, karena itu menjadi lahan hati. 

Baiknya siapa pun juga mengendalikan prasangka. Karena, kita tidak berada dalam sinetron yang dapat mendengar suara batin manusia lain.

#5
Maka, saya menyatakan kekecewaan terhadap tindakan oknum Banser yang melakukan pembakaran.

Pada masanya, Rasulullah SAW selalu bertindak sesuai kebutuhan dan pemahaman zaman. Dalam dakwah, Rasulullah SAW mengedepankan manfaat, dan menghindari mudharat besar yang menimbulkan pertentangan lebih keras dari berbagai kalangan.

Sekali lagi, terlepas dari alasan dan niat oknum Banser, tindakan mereka amat gegabah.

Karena, perlindungan kalimat tauhid, baik dengan cara pembakaran maupun penguburan, tidak harus mereka lakukan di depan umum dengan aksi dramatis yang dapat menjadi viral.

Kalaupun tercecer, oknum Banser dapat mengambilnya, untuk kemudian dimusnahkan atau disimpan tanpa perlu menimbulkan gesekan.

Masyarakat belum siap menyaksikan aksi seperti ini. Yang publik tahu, pembakaran berarti kebencian. Sebagaimana kita akan berkobar, apabila merah putih hangus terbakar.

Ada baiknya, sebagai "pasukan" yang memiliki citra positif di tanah nusantara dan bergerak sesuai napas peradaban, Banser dapat menjadi garda depan yang meluruskan kesalahpahaman terkait bendera tauhid.

Mereka harapan kami, untuk mengatakan pada dunia, bahwa tauhid bukanlah lambang terorisme.

Tauhid pondasi kami, umat manusia, dan seluruh alam semesta.

Maka, jangan degradasi izah kalimat tauhid menjadi identitas organisasi.

Kalimat tauhid merupakan deklarasi kesatuan Tuhan, seperti apa pun wujudnya, wajib berkibar paling tinggi, di atas lambang HTI, NU, Muhammadiyah, KAMMI, IM, PKS, PKB, PPP, dan segala yang cuma basa-basi dan perbedaan manusiawi.

Atau minimal, teguhkan ia bertahta di hati manusia yang masih mengakui Tuhannya.

#6
Sebagai penutup, saya ingin sekadar mengingatkan.

Umat Islam bergerak sebagai satu tubuh. Memiliki bagian, fungsi, tugas, dan ranah masing-masing. Maka, sudah sepatutnya saling mendukung untuk mencapai sebuah keutuhan berlandaskan ketuhanan.

Kita terbagi, bukan terpecah-belah. Berbagi rasa dan muara tauhid yang sama, tanpa memaksa harus serupa, tanpa merengek harus sewarna.

Lebih baik diam, ketika kebaikan tidak mampu diterjemahkan.

Karena, nahi munkar juga ada akhlaknya, ada aturannya. Tidak boleh menimbulkan mudharat yang lebih besar, tidak memancing bantah-bantahan yang lebih keras, dan yang paling penting adalah niat.

Apakah benar, ingin menjaga kesucian, atau hendak menyerang orang dan kelompok lain yang berbeda pilihan.

Dan lagi, ada beberapa alasan, karena kasih sayang, ghirah, atau kebencian personal. 

Yang jelas, semua orang boleh salah, tapi tidak boleh bohong dan jangan memercayai kebohongan.

#7
Salam hangat.

***

N. Setia Pertiwi

Cimahi, 23 Oktober 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun