Ketika cengkraman pada tanganku melonggar, aku segera memanfaatkan kesempatan. Sekali lagi, aku merebut bayi itu dan melesat kabur melalui pintu belakang.
Ini pertaruhan, aku harus mengerahkan seluruh tenaga yang aku punya.
Makhluk berbaju hitam mengejar, disusul yang lainnya. Aku memanjat pagar dengan segala kekuatan. Di pucuk besi, kawat berduri kuterabas demi bisa melarikan diri.
Bayi di pelukanku menangis kencang memecah dini hari. Tangannya tergores. Darah menetes, dan tangisannya semakin pilu melukai perasaan siapa saja yang masih memiliki hati.
Hujan deras menyirami kami. Demi melindungi raga lemah berusia tiga hari, aku menuju belantara di belakang bangunan. Berlari di antara pepohonan, memanjat ke salah satu pohon beringin besar, agar tidak mudah ditemukan.
Pilihan tepat, makhluk-makhluk itu melewati kami. Senter-senter mereka hanya menyinari tanah dan dahan-dahan rendah.
Huh, mereka kira aku lemah. Mereka tidak menyangka aku berada di atas sini. Sudah kuduga, mereka hanya makhluk-makhluk bodoh yang mudah dikelabui.
Tapi, kenapa hening sekali?
Presipitasi belum menunjukkan tanda-tanda hendak mereda. Rimbunnya pohon beringan ini menghalau sebagian besar terpaan hujan, namun masih membuat kami kuyup dan kedinginan.
Aku tertegun menatap bayi yang demikian sunyi di tengah cuaca ini. Wajahnya yang tadi bersemu, kini memutih. Tangannya terkulai. Aku panik, namun terbungkam.
Tidak hanya membeku, bayi ini seperti mengalami deformasi. Menjadi persegi panjang. Dia menipis, memipih, dan hampir remuk ... menjadi kertas basah.