Bayi perempuan yang cantik itu tertidur pulas di balik selimut warna merah muda. Usianya baru tiga hari. Pada wajahnya, tersimpan gemintang yang memahkotai malam.
Perlahan, aku mengangkat, dan mulai menimangnya dengan sangat hati-hati. Hangat tubuhnya menyelubungiku dengan kasih sayang yang tumpah ruah. Aku gemetar, ketika tangan mungilnya menggamit jemariku begitu kencang.
Gerimis tengah malam ini terasa begitu romantis. Jendela yang berkilauan oleh terpaan rintik hujan, wangi tanah basah, dan syahdunya suara alam. Di tambah, semerbak aroma bayi yang mencandukan terhirup samar-samar.
Naluri memintaku bersenandung, membuai sosok manis dalam dekapan, mengantarnya ke dunia mimpi yang lebih dalam.
Saat tiba pada bait kedua, aku geming. Sayup terdengar derap langkah menaiki tangga. Aku mematung, menajamkan pendengaran. Satu orang, dua orang? Tidak, lebih dari itu.
Sontak, bulu kudukku meremang. Sudah tiga bulan suamiku belum juga pulang. Tidak ada siapa-siapa di rumah ini.
Gawat, jangan-jangan ... itu mereka. Makhluk-makhluk jahat yang suka mencuri bayi manusia. Kata orang, mereka suka menyantap bayi untuk dijadikan menu sarapan. Â
Aku harus sembunyi, sekarang juga!
Dari balik kolong meja, aku mendengar pintu dibuka. Mereka memasuki ruangan, menyalakan lampu. "Dokter, 307 hilang," ujar salah satunya.
Aliran darahku berdesiran. Aku menepuk-nepuk bayi dalam dekapan, menjaganya tetap tertidur. Dia tidak boleh mengeluarkan suara sedikitpun. Aku tidak ingin menyerahkannya pada mereka. Bayi ini milikku!
Aku menyiapkan siasat. Pintu terbuka lebar. Aku hanya perlu berlari sekencang-kencangnya, seliar-liarnya.
Bersiap, aku menghitung dalam hati. Pada hitungan ke lima, aku melesat ke luar.
"Hei, siapa itu?! Berhenti!"
Aku berlari menembus koridor. Terasa begitu jauh, dan melelahkan. Aku tersengal, berbelok ke arah pintu belakang.
Lampu-lampu menyala. Bayi dalam dekapanku menggeliat, matanya mengerjap. Aku panik, segera membuainya dengan semua lagu yang aku tahu.
Hanya butuh beberapa detik hingga ia tertidur kembali. Syukurlah.
Aku mengintip dari balik dinding, mengawasi keadaan. Makhluk-makhluk berbaju putih yang mengejarku masih lalu-lalang. Mereka bahkan memanggil teman-temannya yang berbaju biru.
Tidak, aku harus memanjat pagar untuk bisa keluar. Tapi sulit sekali dilakukan sambil menggendong bayi.
"Jangan bergerak!" Seseorang dari arah belakang menyergapku. Makhluk berbaju hitam. Aku tahu, dia yang biasa berjaga di pintu utama.
Bayi dalam pelukanku direbut paksa oleh makhluk berbaju putih. Aku meronta, berteriak-teriak. "Lepaskan aku! Kembalikan bayiku! Kembalikan! Sini, kembalikan! Cepat!"
"Dia bukan bayimu!" Makhluk yang menjengkelkan itu membentakku begitu kasar. Aku menciut. "Bayimu sudah meninggal. Terimalah," lanjutnya pelan.
Aku terkesiap sejenak, lalu menggeleng. "Bohong! Itu bayiku! Kembalikan! Cepat kembalikan! Biarkan kami pergi dari sini!" Aku menangis sesenggukan. Meronta-ronta, terduduk di lantai.
Ketika cengkraman pada tanganku melonggar, aku segera memanfaatkan kesempatan. Sekali lagi, aku merebut bayi itu dan melesat kabur melalui pintu belakang.
Ini pertaruhan, aku harus mengerahkan seluruh tenaga yang aku punya.
Makhluk berbaju hitam mengejar, disusul yang lainnya. Aku memanjat pagar dengan segala kekuatan. Di pucuk besi, kawat berduri kuterabas demi bisa melarikan diri.
Bayi di pelukanku menangis kencang memecah dini hari. Tangannya tergores. Darah menetes, dan tangisannya semakin pilu melukai perasaan siapa saja yang masih memiliki hati.
Hujan deras menyirami kami. Demi melindungi raga lemah berusia tiga hari, aku menuju belantara di belakang bangunan. Berlari di antara pepohonan, memanjat ke salah satu pohon beringin besar, agar tidak mudah ditemukan.
Pilihan tepat, makhluk-makhluk itu melewati kami. Senter-senter mereka hanya menyinari tanah dan dahan-dahan rendah.
Huh, mereka kira aku lemah. Mereka tidak menyangka aku berada di atas sini. Sudah kuduga, mereka hanya makhluk-makhluk bodoh yang mudah dikelabui.
Tapi, kenapa hening sekali?
Presipitasi belum menunjukkan tanda-tanda hendak mereda. Rimbunnya pohon beringan ini menghalau sebagian besar terpaan hujan, namun masih membuat kami kuyup dan kedinginan.
Aku tertegun menatap bayi yang demikian sunyi di tengah cuaca ini. Wajahnya yang tadi bersemu, kini memutih. Tangannya terkulai. Aku panik, namun terbungkam.
Tidak hanya membeku, bayi ini seperti mengalami deformasi. Menjadi persegi panjang. Dia menipis, memipih, dan hampir remuk ... menjadi kertas basah.
Aku gamang, genggamanku terlepas.
Di sampingku, teronggok selembar kertas yang tampak menyedihkan. Tulisan-tulisan di atasnya memburam. Aku terbata mengeja yang tersisa.
SURAT KETERANGAN KEMATIAN. Bayi yang baru lahir, tiga hari kemarin, tiga tahun yang lalu.
"Itu dia, di atas pohon!"
Lima senter tersorot padaku. Rasanya, aku seperti penyanyi yang disambut naik ke panggung, tapi kali ini diminta turun.
Aku menurut, tanpa perlawanan. Menggenggam kertas yang telah menjadi bubur. Pikiranku yang tadi meliar, kini hampa dan kosong.
"Sudah jangan kabur lagi. Kamu lebih aman bersama kami," ujar makhluk berbaju putih. Dia bicara dengan seseorang melalui HT, "Dok, kami sudah menemukan 307!"
Aku tertawa-tawa. Cekikikan. Bernyanyi.
Entah kenapa, rasanya mereka lucu sekali!
***
N. Setia Pertiwi
Cimahi, 17 Oktober 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H