Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Daun Bawang dan Cinta yang Kurang Akal

10 Oktober 2018   18:34 Diperbarui: 11 Oktober 2018   22:47 2944
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menurutmu, apakah manusia dan daun bawang bisa saling jatuh cinta?

Aku menitipkan pertanyaan pada sepasang kaki yang kokoh, beralaskan sandal gunung, dan sedikit dikotori lumpur. Di sana, aku sematkan pula rasa yang terlalu janggal untuk bersuara.

Sudah dua minggu, aku dan dia berdampingan, namun terpisah oleh sekat kayu lapuk di Pasar Kinanti. Dia di kios buah-buahan, dan aku di kios sayuran. Hanya melalui celah berdimensi 30 sentimeter kali 15 sentimeter yang sejajar dengan pergelangan kaki, aku dapat mengetahui ada siapa saja di kios sebelah.

"Mak, Pak Engkos punya pegawai baru?" Aku bertanya pada Emak, ketika melihat sepasang kaki asing berseliweran di kios 11B.

"Oh, bukan pegawai. Itu anak sulung Pak Engkos dari Tasik. Baru datang bantu-bantu."

"Oh, Kang Rinaldi yang pernah Pak Engkos ceritain?"

"Iya, kamu belum ketemu? Kemarin dia ke sini, kenalan. Mungkin pas kamu lagi ke toilet. Ke sana, gih."

Aku menggeleng. Penasaran, sekaligus takut. Ada debar aneh ketika melihat kakinya yang cokelat muda. Lantas, bagaimana jika melihat wajahnya? Apakah aku akan pingsan saking tampannya? Atau, justru kecewa karena hidungnya berlubang tiga, misanya?

"Ganteng tidak, Mak?" Aku bertanya usil, namun diniatkan sepenuh hati.

"Hah?" Emak tertawa keras, mengacungkan jempol. "Hensem pisan!"

Aku bengong mengartikan reaksi Emak, ikut tertawa malu-malu. Biarlah. Aku lebih baik tidak tahu. Percikan rasa penasaran justru menghidupi hari-hariku yang mati bosan menjaga setumpuk sayuran. Setidaknya, aku jadi punya bahan baru untuk menggosip bersama wortel, kentang, dan kacang panjang.

Ssst, tapi ini rahasia, lho!

Hingga kini, orang-orang tidak ada yang sadar, bahwa aku sebenarnya jelmaan daun bawang. Wujud asliku hijau dan segar. Buktinya, aku punya aroma yang menyeruak. Semerbak yang membuat Emak marah-marah jika aku tidak mandi pagi.

Aneh, ya?

Aku sering melihat Emak memasukkan potongan daun bawang ke dalam sop ayam, telur dadar, dan nasi goreng. Katanya, agar terasa nikmat dan berbau harum. Lalu, kenapa aku disuruh mandi?

"Salahmu sendiri, memaksa menjadi manusia. Mereka itu suka sekali meributkan dan memperebutkan perkara yang fana-fana." Seikat daun bawang malah mengomeliku ketika aku curhat tentang malas mandi dengan sabun batangan yang berbau seperti kuburan. Bunga tujuh rupa.

"Memangnya, kamu tidak ingin kembali menjadi daun bawang?" Sebongkah kentang dalam keranjang bertanya.

Aku hanya diam, memikirkan segala kemungkinan. Tumpukan sayuran ini memang suka asal bicara. Tidak punya otak saja merasa pintar. Mana mungkin aku kembali jadi daun bawang. Keputusan ini sudah final.

Begini, lho. Masalahnya, aku selalu keliru menjatuhkan cinta. Aku tidak pernah jatuh cinta pada daun bawang, brokoli, atau kentang. Aku hanya tertarik pada manusia. 

Tapi, mana mungkin kan, manusia jatuh cinta pada daun bawang? Untuk itulah aku harus jadi manusia juga.

Sialnya, dunia manusia itu rumit sekali. Berkali-kali, kisah cintaku gagal. Manusia suka sekali mengambil hatiku dengan paksa, lalu mematahkannya dengan linggis, palu, atau menjatuhkannya dari lantai lima. Jika hatiku yang rusak aku kumpulkan, barangkali sudah bisa memenuhi seluruh keranjang di kios sayuran ini.

"Sepertinya laki-laki itu tahu bahwa kamu daun bawang," kata wortel saat aku menceritakan tentang kuli bangunan bodoh yang meninggalkanku demi tukang jamu.

Aku mendengus. "Mana mungkin? Sebelum bertemu dengannya, aku selalu mandi dengan sabun wangi kuburan. Apa masih ada bau daun bawangnya?"

Wortel terdiam, saling lirik dengan kentang. Aku maklumi saja, mereka cuma sayuran tanpa otak dan perasaan. Bahkan, mereka tidak akan paham jika kukatakan bahwa pemilik kaki di kios Pak Engkos itu berbeda.

Aku yakin, Kang Rinaldi bukan laki-laki sembarangan. Ini namanya firasat daun bawang.

Aku tidak pernah mendengar dia menggoda perempuan-perempuan cantik yang lewat untuk berbelanja. Berbeda sekali dengan penjual tahu di sebelah, atau tukang daging di seberang sana.

Kurasa, kali ini aku benar-benar jatuh cinta. Boleh, kan?

***

"Bagaimana jika ternyata dia tidak menyukai daun bawang?"

Aku berdecak gusar mendengar pertanyaan dari kacang panjang. Aku sudah berdandan cantik sekali pagi ini. Tidak ada yang boleh mengganggu, atau sekadar membuatku ragu. "Tenang saja, aku akan membuat Kang Adi menyukaiku."

"Kang Adi? Rinaldi?"

"Iya, aku akan memanggilnya Kang Adi. Agar berbeda dari orang lain. Dengan begitu, dia akan mengingatku."

"Kalau dia alergi daun bawang, kamu mau apa?" Sebutir kluwek di ujung rak ikut-ikutan khawatir.

Aku menggeleng. "Tenang saja, teman-teman. Hari ini aku hanya ingin menyapanya. Mumpung Pak Engkos tidak ada, jadi aku tidak malu."

Mereka semua terdiam. Aku tersenyum puas. "Sudah ya, aku pergi dulu ke sebelah."

"Lho, mau ke mana?" tanya Emak yang baru datang membawa satu kardus berisi paprika.

"Mau ke Pak Engkos, Mak. Mau beli jeruk."

"Lhah, itu sih Emak sudah beli kemarin satu kresek! Noh, di balik keranjang kentang."

Aku gelagapan. Duh, kenapa pula Emak beli jeruk segala. "Ung ... beli mangga kalau gitu, Mak. Belum ada, kan? Hehe." Aku bergagas kabur, menuju kios Pang Engkos. Menunduk dalam.

Ada. Sepasang kaki itu ada. Debar yang aneh itu, hadir lagi tanpa kendali. Aku gemetaran.

Buah-buahan di kios itu malah tertawa, menggodaku. Sebuah semangka kuning tertawa paling keras. Ingin rasanya aku menggigitnya. Tapi tubuhku kaku, bahkan belum berani menegakkan kepala.

"Kamu Dawiyah ya? Anak Emak? Baru ketemu ya kita, ada apa?"

Aku  tertegun seketika. Tidak siap menerima pertanyaan. 

Suara itu lembut, lembut sekali. Sopan. Membuatku disergap atmosfer aneh yang terasa janggal. Aku memandangi kaki cokelat muda itu semakin lekat.

"Kita belum kenalan, ya?" Dia tidak mengulurkan tangan. Kedua telapak tangannya menangkup di depan dada. Nah, benar kan. Dia laki-laki yang sopan. Tidak mengecewakan.

Aku mengumpulkan kekuatan untuk mengangkat kepala. Rasa penasaran harus dituntaskan. Dibayar lunas. Barangkali, aku akan mengukir sejarah.

Aku persembahkan pada dunia, awal kisah cinta antara manusia dan daun bawang!

Tapi ... aku harus bilang apa?

"Emak bilang kamu suka dipanggil Daun. Dawiyah Untari, Daun. Manis sekali. Panggil saja saya Rina, ya."

Aku bisa merasakan gemuruh dan getaran lantai yang datang bergelombang. Seluruh pasar menertawakan aku. Buah-buahan, sayuran, tahu, tempe, daging, beras, serentak mengejek aku yang terpaku di hadapan laki-laki rupawan yang ... mengenakan kerudung biru.

"Kamu kenapa? Aduh, cyin. Saya salah bicara ya."

Kali ini, hatiku tidak patah, tapi runtuh. Aku berlari, kembali ke kios sayuran.

Aku meringkuk di bawah meja dagangan. Memeluk seikat kangkung. Memoteknya satu per satu. Menangis sesenggukan. Mengabaikan Emak yang kebingungan.

Terdengar suara langkah Kang Adi, eh, Rinaldi, ung ... Rina, menyusulku.

"Mak, kenapa, Mak? Daun kenapa? Tadi mau kenalan, tau-tau kabur."

"Aku mau jadi daun bawang saja. Dunia manusia sudah gila. Aku mau jadi daun bawang saja. Aku mau jadi daun bawang saja ..." Otakku seperti tersengat listrik. Aku mengulang-ulang permintaanku pada tumpukan daun bawang yang membisu. Aku menggoyang-goyangkan keranjang mereka, namun mereka hanya geming.

Argh, tidak setia kawan!

Setelah keriuhan tawa yang mengejek, kini seantero pasar terasa hening. Hanya ada aku dan kenangan-kenangan tumpah yang membuatku ingin kembali ke dalam tanah. Tumbuh kembali menjadi daun bawang yang tidak mengenal cinta dan mati, selain pada semangkuk sop ayam atau sepiring nasi goreng.

"Sudah, tidak apa-apa. Daun begitu sudah tiga tahun. Sejak kecelakaan motor waktu membawa sayuran. Dia pingsan di atas setumpuk daun bawang, dan kakaknya, anak sulung Emak, meninggal. Dawiyah bilang, tidak bisa melakukan apa-apa seperti daun bawang. Emak ... "

Aku mendengar Emak menceritakan tragedi yang tak asing. Aku tidak suka. Aku tidak mau mendengarnya.

Aku memperkeras suara gerunganku. "Aku mau jadi daun bawang saja! Dunia manusia sudah gila! Aku mau jadi daun bawang saja! Dunia sudah gila! Aku mau jadi daun bawang saja! Daun bawaaang!!!"

***

Cimahi, 10 Oktober 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun