Aku menggeleng. "Tenang saja, teman-teman. Hari ini aku hanya ingin menyapanya. Mumpung Pak Engkos tidak ada, jadi aku tidak malu."
Mereka semua terdiam. Aku tersenyum puas. "Sudah ya, aku pergi dulu ke sebelah."
"Lho, mau ke mana?" tanya Emak yang baru datang membawa satu kardus berisi paprika.
"Mau ke Pak Engkos, Mak. Mau beli jeruk."
"Lhah, itu sih Emak sudah beli kemarin satu kresek! Noh, di balik keranjang kentang."
Aku gelagapan. Duh, kenapa pula Emak beli jeruk segala. "Ung ... beli mangga kalau gitu, Mak. Belum ada, kan? Hehe." Aku bergagas kabur, menuju kios Pang Engkos. Menunduk dalam.
Ada. Sepasang kaki itu ada. Debar yang aneh itu, hadir lagi tanpa kendali. Aku gemetaran.
Buah-buahan di kios itu malah tertawa, menggodaku. Sebuah semangka kuning tertawa paling keras. Ingin rasanya aku menggigitnya. Tapi tubuhku kaku, bahkan belum berani menegakkan kepala.
"Kamu Dawiyah ya? Anak Emak? Baru ketemu ya kita, ada apa?"
Aku  tertegun seketika. Tidak siap menerima pertanyaan.Â
Suara itu lembut, lembut sekali. Sopan. Membuatku disergap atmosfer aneh yang terasa janggal. Aku memandangi kaki cokelat muda itu semakin lekat.