"Kita belum kenalan, ya?" Dia tidak mengulurkan tangan. Kedua telapak tangannya menangkup di depan dada. Nah, benar kan. Dia laki-laki yang sopan. Tidak mengecewakan.
Aku mengumpulkan kekuatan untuk mengangkat kepala. Rasa penasaran harus dituntaskan. Dibayar lunas. Barangkali, aku akan mengukir sejarah.
Aku persembahkan pada dunia, awal kisah cinta antara manusia dan daun bawang!
Tapi ... aku harus bilang apa?
"Emak bilang kamu suka dipanggil Daun. Dawiyah Untari, Daun. Manis sekali. Panggil saja saya Rina, ya."
Aku bisa merasakan gemuruh dan getaran lantai yang datang bergelombang. Seluruh pasar menertawakan aku. Buah-buahan, sayuran, tahu, tempe, daging, beras, serentak mengejek aku yang terpaku di hadapan laki-laki rupawan yang ... mengenakan kerudung biru.
"Kamu kenapa? Aduh, cyin. Saya salah bicara ya."
Kali ini, hatiku tidak patah, tapi runtuh. Aku berlari, kembali ke kios sayuran.
Aku meringkuk di bawah meja dagangan. Memeluk seikat kangkung. Memoteknya satu per satu. Menangis sesenggukan. Mengabaikan Emak yang kebingungan.
Terdengar suara langkah Kang Adi, eh, Rinaldi, ung ... Rina, menyusulku.
"Mak, kenapa, Mak? Daun kenapa? Tadi mau kenalan, tau-tau kabur."