Habis sudah kerusuhan. Cukup sudah perlawanan. Berakhir sudah medan perang. Ujung pencarianku tertambat pada nisan bisu yang enggan untuk berkisah.
Perlahan dan tak mampu kujabarkan dengan rasio akal pikiran, kekosongan itu terisi oleh perasaan baru yang lama kukenal. Hangat dan nyaman. Mengalir tenang hingga penuh dan berkelimpahan.Â
Aku tersenyum tipis. Mendengar bisikan lembut yang tak bisa diwakilkan oleh bahasa maupun aksara.
Bertahun-tahun, setelah jutaan langkah, goresan luka, tangisan rindu, sakit hati, kini terbayar sudah. Tuntas. Lunas.
Hatiku terpuaskan oleh paham yang tak mudah dijelaskan. Aku menatap penuh kasih pada dua huruf dari kayu yang tergolek di batu pusara. Tanpa ketakutan, kekhawatiran, maupun keinginan.
Bahkan, aku kini kehabisan pertanyaan. Aku tidak butuh alasan, waktu, dan semua yang cuma batas dimensi.Â
Aku turut bahagia, Ayah menemui cintanya sendiri. Setiap kita juga, nanti. Pasti.
Ringan, aku berdiri. Berjalan tanpa beban.
Masih mengulum senyum, aku kembali ke pelataran api unggun. Menyerap senyap, menghangatkan diri. Tidak dengan kobaran api, melainkan nurani.
"Ayah pernah cerita soal Neira?"
"Anak sahabatnya itu? Ya, dia cerita banyak. Gadis yang baik."