Aku tidak menjawab, sibuk menata tanda tanya. Tidak ada waktu untuk apa kabar atau sekadar sapa tanpa makna. Biar hening mengitari jarak di antara kami. Untuk saat ini, diam lebih mampu aku hargai.
Tetesan kedua menyusul bergulir di titik tanah yang sama. Aku mengamati wujudnya. Topi hitam lusuh, kemeja coklat pudar, celana penuh debu, dan sandal gunung.Â
Matanya lelah, kumis dan janggut tercukur tak teratur, wajahnya tampak tua, tapi membara. Tubuhnya jauh lebih kurus dari yang kuingat. Otot-otot tanganku gatal ingin menghambur, memeluknya erat.
"Ini bukan tempat kamu, Ren," katanya.
"Kenapa?"
"Pulanglah, jaga ibu dan adikmu saja."
Alisku mengernyit, berdecak kesal. Aku sadar tidak seharusnya marah, tapi luka memicu emosiku buncah. "Bukankah harusnya Reno yang bilang begitu pada Ayah? Kenapa Ayah pergi meninggalkan kami? Meninggalkan tanggung jawab, meninggalkan Karagan, semuanya. Kenapa bukan Ayah yang menjaga mereka?"
Laki-laki tua itu geming. "Ren..." bisiknya pelan. "Ayah kamu tidak bisa pulang."
Aku tertegun, menghela keraguan. Apakah dia adalah Om Jay? Lalu, dimana Ayah berada? Hanya ada satu cara untuk memastikan.
"Saya Jay," ujarnya sebelum aku sempat bertanya.
"Om Jay? Di mana Ayah sekarang?"