Kecamuk pikiran riuh bergemuruh. Di ujung pandangan, celah batuan memancarkan seberkas sinar. Memecah hitam kegelapan dan pekat kabut malam.
Kali ini jauh berbeda, tanpa drama berlebihan. Dia tidak berlari, aku tidak mengejar.
Lamat-lamat, kucoba mengenali sosok laki-laki di hadapan. Tapi, ia terus berjalan konstan. Aku mengamatinya sebatas punggung dan rambut ombak sebahu. Tanpa penerangan tambahan, ia membawa kami ke Lembah Swarga, kembali ke gua.
Aku mengikuti langkah-langkah lebarnya tanpa kepayahan. Kami bahkan tidak bicara apa-apa, dan aku tidak berupaya menjajarinya.
Ritme langkahnya melambat di depan gua.Â
Kami semakin dekat. Tersorot cahaya, ia berdiri tegap. Membentuk siluet setinggi Ayah ... atau Om Jay.
"Masuklah," ujarnya.
Aku menurut. Jika hanya suara, aku masih kesulitan menentukan identitasnya. Selain takdir dan pilihan hidup, Ayah dan Om Jay nyaris kembar identik.
Laki-laki itu duduk bersandar pada dinding batu. Mendekati kobar api unggun, aku merinding. Bukan karena hawa panas yang tiba-tiba menyeruak, melainkan desiran rindu yang membanjiri aliran darah.Â
Wajah itu, tatapan itu, bahasa tubuh itu.
"Ayah ..." Panggilan itu terucap begitu saja. Lidahku kaku, kelu. Terlalu banyak yang ingin tumpah. Setetes air mata jatuh ke tanah.
"Apa kabar, Ren?" tanyanya datar. Roman wajahnya sulit dibaca.