Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Segala Andai di Tepi Sungai #8

21 September 2018   08:45 Diperbarui: 21 September 2018   08:56 769
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Reklamasi juga bagaikan surga bagi kaum hedonis yang haus rekreasi dan hamba teknologi. Golongan yang lantas menjadi basis pendukung Pak Wira lewat kampanye masif jejaring sosial. Gemerlap yang menutupi nasib orang-orang pinggiran teraniaya. Gemerlap yang padam ketika Pak Wira tercerahkan, entah oleh apa.

"Kehidupan perkotaan seharusnya belajar dari budaya tradisional yang menghargai fungsi alam. Bukannya malah mengeksploitasi sumber daya habis-habisan," ujar seorang pemuda dari tim satuan tugas yang menyebut diri mereka Urban Pembaruan. Mereka datang membawa sebundel map berisi daftar gagasan untuk pengembangan kota Karagan.

Bagiku, kepergian Pak Wira semakin jadi pertanyaan. Kalau saja dia memilih tetap tinggal dan melaksanakan rencana tim ini, tentu seluruh warga akan memberi hormat begitu dalam. Bukankah media mudah sekali teralihkan dan memberi pemaafan?

"Hunian vertikal seperti rumah susun, bukan habitat alami bagi warga yang terbiasa hidup di bantaran sungai, kolong jembatan, atau sekitar rel kereta api. Tinggal di hunian bersusun tinggi memerlukan disiplin khusus yang baru dimiliki kaum menengah atas.

Banyak hal yang membuat orang-orang marginal tidak betah tinggal di rumah susun. Kemudian, dengan senang hati menjual hak mereka kepada orang lain yang menginginkannya. Bisa jadi karena ruang gerak yang terbatas, menutup kemungkinan ekspansi horizontal, dan jauh dari kotak nafkah mereka semula," ujar seorang perempuan setengah baya pada presentasi kesekian setelah satu jam berjalan.

"Lalu, apa solusinya? Bukankah rumah susun adalah konsekuensi dari kehidupan kota padat penduduk?" tanyaku, menurunkan ego layaknya mahasiswa di ruang kuliah.

"Kami sepakat. Penggusuran dengan memindahkan mereka ke rumah susun memang membersihkan kota dari wilayah kumuh, tapi tidak menyelesaikan masalah kemiskinan dan tidak meningkatkan kesejahteraan," jawabnya lugas. Perempuan itu berhenti sejenak, lantas melanjutkan, "Kita tidak bisa menyangkal bahwa langkah-langkah penertiban, penggusuran, dan pembongkaran hanya meraup dukungan dari warga kelas menengah dan menengah ke atas.

"Asalkan melihat kota yang bersih dan nyaman dipandang, sebagian besar mereka tidak berempati pada orang-orang pinggiran. Lalu, kembali ke jantung kemauan politik, apakah mau menyelesaikan masalah, atau sekadar ingin memenuhi hasrat megalomania semata."

Kata-kata serupa panah itu menusuk tepat pada harga diri hampir semua pejabat yang hadir. Kami berpandangan dengan raut wajah terkoyak. Menerima tim dengan dominasi kaum muda untuk memberi kami perkuliahan saja, sudah memerlukan kelapangan hati. Lebih lagi harus tercabik-cabik seperti ini.

Baiklah, kurasa aku mengerti alasan Pak Wira meninggalkan kami.

"Seluruh warga Karagan harus membiasakan diri hidup di hunian vertikal, memang itu harga yang harus dibayar ketika memilih hidup di kota besar. Kita harus mengalah pada lahan dengan fungsi alam vital seperti resapan air, retensi, dan penyaring polusi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun