Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Segala Andai di Tepi Sungai #8

21 September 2018   08:45 Diperbarui: 21 September 2018   08:56 769
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita ini merupakan fragmen kedelapan dalam omnibus Tenggelam di Langit. Bacalah cerita sebelumnya untuk memahami semesta mereka dengan lebih utuh.

Fragmen 1. Eksoskeleton

Fragmen 2. Elegi Jasad Renik

Fragmen 3. Metazoa (1)

Fragmen 3. Metazoa (2)

Fragmen 4. 344 Meter per Sekon

Fragmen 5. Ketika Kabut Itu Pergi (1)

Fragmen 5. Ketika Kabut Itu Pergi (2)

Fragmen 6. Muson Barat

Fragmen 7. Fatamorgana (1)

Fragmen 7. Fatamorgana (2)

***

Fragmen 8. Segala Andai di Tepi Sungai

(Semesta dalam perspektif orang kelima)

Aku terus menebak-nebak isi kepala laki-laki itu sejak delapan panggilan tak terjawab terpampang di layar telepon pintar. Panggilan kesembilan, berhasil kuangkat dan bukan kabar baik. Panggilan rapat dadakan, di tengah hari libur yang semestinya menyenangkan.

Masalah terbesarnya, tidak sebatas pembatalan rencana tidur siang. Keluar rumah bukanlah ide cemerlang ketika hujan deras dan kemacetan menjalar di jalan-jalan utama Karagan. Butuh sekitar tiga jam untuk menjangkau ruang rapat. Usaha berlebihan yang mengorbankan selimut hangat dan gangguan bagi seorang "orang tua akhir pekan".

Kalau bukan karena intonasi Pak Wira yang memberi sinyal bahaya, barangkali aku menolak tiba. Ada kondisi darurat yang butuh reaksi cepat. Kutebak, terkait aliran sungai yang seketika menjajaki aspal atau hal-hal lain beranggaran besar.

Tak disangka, ternyata lebih dari itu.

Belasan orang yang hadir hanya menatap tingkah lakunya tanpa berani menyela. Kami hampir menganggapnya gila. Mengadakan rapat dadakan, ketika hujan, banjir, dan kepadatan jalan tidak masuk akal.
Lalu, kami disuguhi aksi teatrikal bakar-bakar berkas layaknya demonstran. Lebih dari itu, program-program yang dia perjuangkan sebelumnya, kini tinggal abu ringan yang berterbangan.

"Apa yang dilakukan Pak Walikota barusan?" tanya Kepala Dinas Sosial padaku selepas Pak Wira pergi dengan dramatis.

"Sudah jelas kan? Beliau membatalkan hampir semua program dan menyiapkan program baru," jawabku datar, membayangkan hal-hal yang terjadi selanjutnya.

"Iya, itu sudah jelas. Tapi, kenapa? Anda wakilnya, masa' tidak diberitahu?"

Aku menggeleng. "Entah. Apa yang terjadi, terjadilah."

Benar saja, terembus badai yang tidak bisa dicegah pasca banjir teratasi, televisi penuh berbagai spekulasi, dan ketidakwarasan Pak Wira. Angin kencang siap meluluhlantakkan kantor pemerintahan. 

Friksi besar itu terbungkus dalam amplop putih tanpa nama pengirim, tapi jelas ditujukan padaku. Salinan surat pengunduran diri Pak Wira, sekaligus titah tugas untukku, sebagai walikota Karagan penggantinya.
Kurang dari 36 jam, kami dikerumuni banyak kejutan.

Pengunduran diri ternyata hanya pemanasan. Halaman depan koran-koran yang dijajakan di lampu merah kini memampang berita mengejutkan. Dengan menggunakan istilah-istilah khas kantor berita masing-masing, semua mengabarkan soal lenyapnya Pak Wira dari peradaban. Poof!

Tidak ada satu pun manusia yang dapat memberi kesaksian. Pak Wira masuk dalam daftar pencarian orang. Sulit dipercaya, tapi pihak keluarga juga mengaku tak tahu, bahkan mereka yang melaporkan berita kehilangan itu ke polisi.

Satu-satunya yang tersisa dari Pak Wira adalah surat-surat yang ia kirim ke seluruh kantor berita. Berisi permohonan maaf atas segala keputusan yang merugikan Karagan, atas orang-orang yang tidak mendapatkan keadilan, serta program-program revolusioner yang akan segera dilaksanakan.

Aku, yang kini memikul amanah sebagai pengganti, menjadi sasaran empuk para wartawan. Masalahnya, Pak Wira tidak pernah melakukan perundingan apapun. Semua serba mendadak, hingga kami merasa terjebak. Mau tidak mau, tim satuan tugas yang diam-diam dibentuk oleh Pak Wira, kami hadirkan untuk memberi penjelasan.

Sekalipun ia masih hidup, aku seperti berhadapan dengan surat wasiat. Memasang telinga dengan khidmat dan bersedia melakukan segala maklumat.

Kendati sikap Pak Wira dicap publik sebagai pengecut, hanya dia yang mampu kuhormati selama menjabat. Sosok idealis yang tegas, religius, dan bertanggungjawab.

Meski mahasiswa-mahasiswa selalu berburuk sangka, aku tahu Pak Wira selalu berniat baik, jauh dari korupsi, dan tidak pernah mendahulukan urusan pribadi. Namun, para pengembang properti memang amat lihai bicara, seolah mereka sanggup mewujudkan semua impian besar tentang peradaban kota. Menggiring Pak Wira menuju jurang, yang lantas menelannya hidup-hidup dalam cercaan seantero Karagan.

Ya, kota yang bersih, tertata rapi, dan bebas permukiman kumuh, terdengar indah. Tapi, tak lebih dari hasrat kelas menengah.

Reklamasi juga bagaikan surga bagi kaum hedonis yang haus rekreasi dan hamba teknologi. Golongan yang lantas menjadi basis pendukung Pak Wira lewat kampanye masif jejaring sosial. Gemerlap yang menutupi nasib orang-orang pinggiran teraniaya. Gemerlap yang padam ketika Pak Wira tercerahkan, entah oleh apa.

"Kehidupan perkotaan seharusnya belajar dari budaya tradisional yang menghargai fungsi alam. Bukannya malah mengeksploitasi sumber daya habis-habisan," ujar seorang pemuda dari tim satuan tugas yang menyebut diri mereka Urban Pembaruan. Mereka datang membawa sebundel map berisi daftar gagasan untuk pengembangan kota Karagan.

Bagiku, kepergian Pak Wira semakin jadi pertanyaan. Kalau saja dia memilih tetap tinggal dan melaksanakan rencana tim ini, tentu seluruh warga akan memberi hormat begitu dalam. Bukankah media mudah sekali teralihkan dan memberi pemaafan?

"Hunian vertikal seperti rumah susun, bukan habitat alami bagi warga yang terbiasa hidup di bantaran sungai, kolong jembatan, atau sekitar rel kereta api. Tinggal di hunian bersusun tinggi memerlukan disiplin khusus yang baru dimiliki kaum menengah atas.

Banyak hal yang membuat orang-orang marginal tidak betah tinggal di rumah susun. Kemudian, dengan senang hati menjual hak mereka kepada orang lain yang menginginkannya. Bisa jadi karena ruang gerak yang terbatas, menutup kemungkinan ekspansi horizontal, dan jauh dari kotak nafkah mereka semula," ujar seorang perempuan setengah baya pada presentasi kesekian setelah satu jam berjalan.

"Lalu, apa solusinya? Bukankah rumah susun adalah konsekuensi dari kehidupan kota padat penduduk?" tanyaku, menurunkan ego layaknya mahasiswa di ruang kuliah.

"Kami sepakat. Penggusuran dengan memindahkan mereka ke rumah susun memang membersihkan kota dari wilayah kumuh, tapi tidak menyelesaikan masalah kemiskinan dan tidak meningkatkan kesejahteraan," jawabnya lugas. Perempuan itu berhenti sejenak, lantas melanjutkan, "Kita tidak bisa menyangkal bahwa langkah-langkah penertiban, penggusuran, dan pembongkaran hanya meraup dukungan dari warga kelas menengah dan menengah ke atas.

"Asalkan melihat kota yang bersih dan nyaman dipandang, sebagian besar mereka tidak berempati pada orang-orang pinggiran. Lalu, kembali ke jantung kemauan politik, apakah mau menyelesaikan masalah, atau sekadar ingin memenuhi hasrat megalomania semata."

Kata-kata serupa panah itu menusuk tepat pada harga diri hampir semua pejabat yang hadir. Kami berpandangan dengan raut wajah terkoyak. Menerima tim dengan dominasi kaum muda untuk memberi kami perkuliahan saja, sudah memerlukan kelapangan hati. Lebih lagi harus tercabik-cabik seperti ini.

Baiklah, kurasa aku mengerti alasan Pak Wira meninggalkan kami.

"Seluruh warga Karagan harus membiasakan diri hidup di hunian vertikal, memang itu harga yang harus dibayar ketika memilih hidup di kota besar. Kita harus mengalah pada lahan dengan fungsi alam vital seperti resapan air, retensi, dan penyaring polusi.

Namun, ide buruk jika harus dipaksakan kepada masyarakat strata bantaran sungai. Kualitas mental mereka harus lebih dulu ditingkatkan untuk dapat menghuni rumah susun," lanjutnya.

Seorang pemuda lain menambahkan, "Pengembangan aspek psikologis dan pemberdayaan masyarakat sudah harus dimulai dari kolong jembatan, pinggir rel kereta api, tepian sungai, dan dimana saja mereka berada, tanpa penggusuran."

"Dan, semua ini butuh kesabaran dan solidaritas antara pemerintah dan warga kota. Kami pikir sudah waktunya pemangku jabatan tidak lagi bersaing dan saling menjatuhkan. Harus dibangun kebersamaan sosial agar rakyat tidak kebingungan. Karagan terlalu lama berkorban dalam dagelan kekuasaan," sahut yang lainnya.

"Baiklah. Apa program terdekat yang akan dieksekusi?" tanyaku sebelum wajah-wajah di ruangan ini semakin tidak karuan menahan marah dan malu yang bersingunggan.

"Perbaikan kampung di bantaran Sungai Kaliran."

"Oke, laksanakan."

***

Anak laki-laki berkaos biru berlarian bahagia bersama kawan-kawannya. Sepintas, rupa mereka tampak sama. Berkulit coklat terlalu tua, rambut berantakan, kurus, terbungkus baju dengan level kusam yang tak jauh beda. Lahir, mengalir, dan bersenyawa dengan buangan kota.

Beberapa meter di atas mereka, layang-layang kehilangan tuan bertaruh nasib terbawa angin. Jatuh dan menjadi rebutan, atau singgah di pohon tinggi menjadi sampah seorang diri. Sepanjang tiupan, ia berandai-andai memiliki pilihan.

Hingga, ranting terjauh menggamit senar yang kusut. Kekecewaan memeluk anak-anak yang seketika menghentikan langkah. Tapi tidak bagi anak laki-laki berkaos biru. Kaki telanjang yang penuh bekas luka itu memanjat hingga mencapai lilitan layang-layang.

Anak-anak lain bersorak, mengelu-elukan namanya. Namun, terlalu senang membuat kewaspadaan anak berkaos biru itu hilang. Ia menginjak dahan lapuk yang dikerubuti semut. Pegangannya terlepas, lantas jatuh berdebum di tanah keras. Sayup terdengar gemeretak tulang, lalu hanya ada keheningan.

Sejak itu, tidak ada yang pernah melihatnya berkeliaran. Dia dibawa ke tengah kota, menjadi anak angkat saudara sepupu ibunya. Dia tidak lagi mampu berlari. Seumur hidup, kakinya bersahabat dengan plat platina buatan China.

Gaya hidup perkotaan, lantas mengusik arah perjalanan seorang anak pinggiran. Puluhan tahun berselang, kehidupannya berubah cemerlang. Dia dilantik sebagai wakil walikota Karagan.

Dia, menjadi aku yang sekarang.

Hidup bagai layang-layang, aku selalu mengasihi ketidakpastian. Semesta bekerja tanpa mengizinkanku berencana. Terkadang, sulit menjawab pertanyaan orang-orang yang menghendaki kejelasan. 

Nanti, biarlah menjadi nanti. Aku memiliki keterikatan pribadi dengan kalimat: 'Apa yang terjadi, terjadilah.'

Anakku yang berumur enam tahun, bukan penerus filosofi antah berantah ini. Dia seperti istriku. Penuh perencanaan, waspada, dan mudah panik. Wajar saja begitu, frekuensi kami bertemu hanya dua banding tujuh. Lagipula, jalur hidupnya tak kenal gelombang. Dia tidak pernah dipermainkan arus deras, dan kaku bagai bebatuan.

Namun, aku tidak bisa tinggal diam. Setiap sungai memiliki jeram yang menukik tajam. Terjun bebas, menjadi lepas. Sesekali dia harus merasa kalah, pasrah pada takdir yang tumpah ruah. Tanpa meratapi rencana yang serupa buih-buih pecah.

Demi sepercik hawa manusia, aku sering mengajaknya bekerja. Berkunjung ke tepi-tepi sungai, kolong-kolong jembatan layang, dan pasar-pasar berlalat hijau. Aku ingin dia lebih bijaksana dan tidak gegabah menilai keadaan. Aku berharap dia mengerti bahwa manusia tidak terlahir untuk memiliki, melainkan memahami dan menjadi.

"Bapak, aku boleh main sama mereka? Ada kura-kura besaaaar," ujar anakku riang. Lima orang anak menunggunya di bawah pohon pisang. Tidak seperti akhir pekan lalu, hari ini terlalu cerah untuk dilewatkan di dalam rumah. Pagi-pagi sekali, aku membawanya ke Sungai Kaliran, sekaligus pertemuan dengan warga kampung untuk membahas program-program Urban Pembaruan.

"Iya boleh. Hati-hati ya, di sana licin," jawabku. "Pak, minta tolong awasi anak saya ya. Ada pertemuan sebentar di kantor RW," kataku pada Pak Roy, sopir keluarga kami.

Aku melangkah bersama empat orang dari Urban Pembaruan. Puluhan warga berkumpul, menyambut kami dengan senyuman lebar. Kabar gembira begitu mudah menyebar. Penggusuran dibatalkan, seisi kampung bernapas penuh kelegaan.

"Kami berterimakasih banyak kepada Bapak Walikota yang baru. Kami sangat senang karena Bapak masih mengizinkan kami tinggal di sini. Apalagi, ditambah program-program membangun ekonomi dan pendidikan, kami bersyukur belum digusur walikota sebelumnya."

Merasa tidak pantas menerima penghargaan itu, aku cepat menggeleng. "Tidak, tidak. Ini program usulan dari Bapak Walikota sebelumnya. Tim beliau yang merancang, saya hanya melaksanakan yang sudah diwariskan saja."

Terdengar kasak-kusuk tidak percaya di setiap sudut. Aku tersenyum mafhum. Media telah mengidentikkan kepemimpinan Pak Wira dengan tindakan tegas. Di sisi lain, banyak orang menganggapnya brutal dan tidak berperasaan. Koran-koran dan televisi membangun kesimpulannya sendiri. Menggiring orang-orang berpikir timpang.

"Beneran tah? Bapak Walikota sebelumnya kan selama ini suka membangun gedung-gedung tinggi, ngembangin teknologi, terus di puja-puji orang-orang kaya. Kami-kami ini disingkirkan, terus nasibnya ndak dipedulikan," ujar seorang pria berlogat Jawa kental.

"Iya betul, mentang-mentang kami ini cuma orang miskin, tidak membantu kampanye lewat apa itu? Pesbuk? Jadinya kami tidak didengar. Kalau menolong kami kan, paling banter dapat ucapan terima kasih saja, sama nasi tumpeng," sahut seorang perempuan tua dengan intonasi seperti sedang mengomeli cucunya.

Ketua RW panik, buru-buru menenangkan warga yang semakin ramai membicarakan aib-aib walikota.

Dua jam pertemuan, hampir setengahnya kugunakan untuk membersihkan pikiran-pikiran buruk tentang Pak Wira. Tuntas.

Menjelang siang, semua orang kembali tersenyum tanpa kerusuhan.

Kami semua, menuju pulang dengan rasa-rasa yang terpendam.

Kita lihat esok hari, apa yang akan terjadi.

....bersambung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun