Sejak itu, tidak ada yang pernah melihatnya berkeliaran. Dia dibawa ke tengah kota, menjadi anak angkat saudara sepupu ibunya. Dia tidak lagi mampu berlari. Seumur hidup, kakinya bersahabat dengan plat platina buatan China.
Gaya hidup perkotaan, lantas mengusik arah perjalanan seorang anak pinggiran. Puluhan tahun berselang, kehidupannya berubah cemerlang. Dia dilantik sebagai wakil walikota Karagan.
Dia, menjadi aku yang sekarang.
Hidup bagai layang-layang, aku selalu mengasihi ketidakpastian. Semesta bekerja tanpa mengizinkanku berencana. Terkadang, sulit menjawab pertanyaan orang-orang yang menghendaki kejelasan.Â
Nanti, biarlah menjadi nanti. Aku memiliki keterikatan pribadi dengan kalimat: 'Apa yang terjadi, terjadilah.'
Anakku yang berumur enam tahun, bukan penerus filosofi antah berantah ini. Dia seperti istriku. Penuh perencanaan, waspada, dan mudah panik. Wajar saja begitu, frekuensi kami bertemu hanya dua banding tujuh. Lagipula, jalur hidupnya tak kenal gelombang. Dia tidak pernah dipermainkan arus deras, dan kaku bagai bebatuan.
Namun, aku tidak bisa tinggal diam. Setiap sungai memiliki jeram yang menukik tajam. Terjun bebas, menjadi lepas. Sesekali dia harus merasa kalah, pasrah pada takdir yang tumpah ruah. Tanpa meratapi rencana yang serupa buih-buih pecah.
Demi sepercik hawa manusia, aku sering mengajaknya bekerja. Berkunjung ke tepi-tepi sungai, kolong-kolong jembatan layang, dan pasar-pasar berlalat hijau. Aku ingin dia lebih bijaksana dan tidak gegabah menilai keadaan. Aku berharap dia mengerti bahwa manusia tidak terlahir untuk memiliki, melainkan memahami dan menjadi.
"Bapak, aku boleh main sama mereka? Ada kura-kura besaaaar," ujar anakku riang. Lima orang anak menunggunya di bawah pohon pisang. Tidak seperti akhir pekan lalu, hari ini terlalu cerah untuk dilewatkan di dalam rumah. Pagi-pagi sekali, aku membawanya ke Sungai Kaliran, sekaligus pertemuan dengan warga kampung untuk membahas program-program Urban Pembaruan.
"Iya boleh. Hati-hati ya, di sana licin," jawabku. "Pak, minta tolong awasi anak saya ya. Ada pertemuan sebentar di kantor RW," kataku pada Pak Roy, sopir keluarga kami.
Aku melangkah bersama empat orang dari Urban Pembaruan. Puluhan warga berkumpul, menyambut kami dengan senyuman lebar. Kabar gembira begitu mudah menyebar. Penggusuran dibatalkan, seisi kampung bernapas penuh kelegaan.