"Kami berterimakasih banyak kepada Bapak Walikota yang baru. Kami sangat senang karena Bapak masih mengizinkan kami tinggal di sini. Apalagi, ditambah program-program membangun ekonomi dan pendidikan, kami bersyukur belum digusur walikota sebelumnya."
Merasa tidak pantas menerima penghargaan itu, aku cepat menggeleng. "Tidak, tidak. Ini program usulan dari Bapak Walikota sebelumnya. Tim beliau yang merancang, saya hanya melaksanakan yang sudah diwariskan saja."
Terdengar kasak-kusuk tidak percaya di setiap sudut. Aku tersenyum mafhum. Media telah mengidentikkan kepemimpinan Pak Wira dengan tindakan tegas. Di sisi lain, banyak orang menganggapnya brutal dan tidak berperasaan. Koran-koran dan televisi membangun kesimpulannya sendiri. Menggiring orang-orang berpikir timpang.
"Beneran tah? Bapak Walikota sebelumnya kan selama ini suka membangun gedung-gedung tinggi, ngembangin teknologi, terus di puja-puji orang-orang kaya. Kami-kami ini disingkirkan, terus nasibnya ndak dipedulikan," ujar seorang pria berlogat Jawa kental.
"Iya betul, mentang-mentang kami ini cuma orang miskin, tidak membantu kampanye lewat apa itu? Pesbuk? Jadinya kami tidak didengar. Kalau menolong kami kan, paling banter dapat ucapan terima kasih saja, sama nasi tumpeng," sahut seorang perempuan tua dengan intonasi seperti sedang mengomeli cucunya.
Ketua RW panik, buru-buru menenangkan warga yang semakin ramai membicarakan aib-aib walikota.
Dua jam pertemuan, hampir setengahnya kugunakan untuk membersihkan pikiran-pikiran buruk tentang Pak Wira. Tuntas.
Menjelang siang, semua orang kembali tersenyum tanpa kerusuhan.
Kami semua, menuju pulang dengan rasa-rasa yang terpendam.
Kita lihat esok hari, apa yang akan terjadi.
....bersambung.