Karagan, kota yang renta sebelum masanya. Kemarahan mampu menggerogoti usia secepat aliran sungai menyebrangi jalan-jalan raya. Aku musuh bersama bagi alam dan manusia. Langkahku murka, kehadiranku bencana.
Hampir tiga jam kemudian, aku tiba di kantor untuk membuat mereka membenci hari Minggu. Menghapus kata berlibur dan menghitamkan tanggal merah. Jajaran paling krusial di Karagan aku kumpulkan. Panggilan rapat dadakan. Semua datang, mengamini kekuatan ancaman terkait gaji dan jabatan.
Hari ini saja, kutanggalkan formalitas dan kutinggalkan di bagasi. Aku bicara tanpa pengantar, dan tidak berencana memberi penutupan selain 'Laksanakan!'.
Kusingkirkan meja rapat. Sebuah kaleng besar aku letakkan di tengah ruangan. Jadwal-jadwal penggusuran, surat izin pembangunan apartemen, berkas-berkas reklamasi, dan semua yang cuma janji kuletakkan di dalamnya.
Belasan kepala yang masih berpikir soal rencana wisata kini hadir penuh. Ketika aku mulai menyiram bensin, kesadaran mereka utuh. Berkas-berkas beraroma investasi menjerit dalam kobaran api. Hal-hal ini menjadi perlu, sebelum kota kami yang berubah menjadi abu.
Program-program pengendalian lingkungan dan pengembangan komunitas pinggiran kutitipkan, pada sekelompok orang yang siap bekerja tanpa sorotan. Semuanya telah disahkan, sebelum surat pengunduran diri kuserahkan pada wakil walikota.
Dengan seizin Tuhan, Karagan akan baik-baik saja saat aku telah tiada.
Rumah, menjadi persinggahan selanjutnya.
Kuhadapi mobil-mobil yang masih cemas kehilangan kecepatan. Luapan sungai ini dampak pertama dari proyek reklamasi setengah jadi. Sedimentasi sungai bukan kabar baik bagi masa lalu Karagan yang berupa rawa-rawa. Lumpur merebut kembali habitat mereka yang pernah terampas puluhan tahun sebelumnya.
Krisis energi pun tidak layak membayar konsekuensi pulau buatan.Â
Bisa, tapi untuk siapa?