Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Fatamorgana (2) #7

20 September 2018   14:59 Diperbarui: 20 September 2018   15:23 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita ini merupakan fragmen ketujuh bagian kedua dalam omnibus Tenggelam di Langit. Bacalah cerita sebelumnya untuk memahami semesta mereka dengan lebih utuh.

Fragmen 1. Eksoskeleton

Fragmen 2. Elegi Jasad Renik

Fragmen 3. Metazoa (1)

Fragmen 3. Metazoa (2)

Fragmen 4. 344 Meter per Sekon

Fragmen 5. Ketika Kabut Itu Pergi (1)

Fragmen 5. Ketika Kabut Itu Pergi (2)

Fragmen 6. Muson Barat

Fragmen 7. Fatamorgana (1)

***

Fragmen 7. Fatamorgana (2)

(Semesta dalam perspektif orang ketiga)

Pukul dua dini hari. Waktu sempurna untuk bercengkrama dengan burung hantu, mengetuk pintu langit, dan menuai embun pagi. Juga menggali halaman rumah, mencari jasad orang mati. 

Enam pasang mata sudah cukup banyak menjadi saksi. Kami mengendalikan suara agar tidak membangunkan tetangga. Menyuap petugas ronda agar tidak menyebar berita.

Muram, berkubang kegetiran.

Sekalipun purnama hadir membawa penghiburan, isak tangis istri Gau terlalu sendu untuk diredam. Anak bungsuku tenggelam dalam pelukan ibunya. Aku dan Reno menggali tanah gembur di bawah cemara.

Membongkar dan menyelesaikan rahasia. Menopang pikiran kami yang terombang-ambing di tengah samudera. Gamang, tanpa pijakan. Hanyut, tanpa kepastian.

Waktu memadat, meminta kami bergerak cepat. Tidak sampai dua meter hingga ujung sekop menubruk sesuatu. Keras dan putih gading. Tangan kami melanjutkan pekerjaan tanpa alat bantu.

Tulangku bergetaran. Tengkorak manusia tergolek di sana, terkubur bersama cerita. Mungkin juga segenggam dendam, dan hal-hal kelam yang butuh penebusan.

Tidak pernah terlintas di sela-sela imajinasi terliarku sekalipun, momen ini akan berlangsung. Menemukan Gau di halaman rumah, berbentuk sebuah rangka. Aku ambruk, berlutut. Tak kuasa menahan gumpalan dosa. Bukan saatnya larut dalam sesal dan rasa bersalah, hatiku berbisik. 

Kuhirup banyak udara, menegakkan kaki. Hanya untuk mendapat perlakuan layak, jasad Gau terlalu lama menghitung hari.

Seusai sholat jenazah, kami menembus remang lampu jalan, menuju pemakaman. Menuntaskan semua yang tinggal peristiwa. Dalam keheningan, tanpa orang tambahan, selain satu petugas makam lanjut usia.

Adrian Gautama, menambah panjang daftar orang-orang hilang pasca reformasi negara. Barisan sosok-sosok bijaksana dan mencintai keadilan, namun gugur tanpa peradilan. Aku diselamatkan oleh hukum yang enggan berjalan tanpa tumpukan uang dan pengacara mahal. Seumur hidup, aku tidak bisa lebih terpuruk

Doa-doa kematian Gau juga menjadi doa-doa kematianku.

***

Bingkisan itu tidak besar, tapi menakutkan. Meski semanis senja, warna merah bagiku tetaplah mimpi buruk. Sepasang sendok dan garpu dicat seolah berlumur darah. Hadiah dari para mahasiswa yang berdemonstrasi kemarin lusa. 

Aku menghadapinya dengan gentar, menggigiti kuku seperti anak kecil yang ketakutan.

"Ayah, itu apa?" tanya Reno.

Aku menyerahkan sepucuk surat yang sudah remuk kugenggam.

Dear Bapak Walikota Karagan yang Kami Cintai,
Ini bingkisan dari kami, penderitaan rakyat yang Bapak nikmati. Bapak hancurkan, ratakan rumah kami seperti melahap makanan basi. Tak ada yang mampu kami daki dari barisan gedung-gedung tinggi. Sadarkah Bapak, seluruh sendok dan garpu yang Bapak miliki sudah berlumuran darah kami?

Salam hangat,
Rakyat Miskin yang Berkurang,
karena Sudah Mati

Reno tampak geram. Surat itu semakin remuk oleh remasan tangannya. Tidak puas, Reno menyobeknya menjadi potongan-potongan kecil, lalu ditabur di tempat sampah.

"Reno sudah bicara sama Ibu. Percakapan kita sebelumnya soal Ayah Neira, Reno minta maaf ... Selama ini Reno selalu salah paham. Gara-gara omongan teman kampus yang selalu memojokkan Ayah. Sekarang Reno mengerti, maksud Ayah selalu baik."

Kendati lega oleh pengakuannya, aku menggeleng. "Tidak Ren, niat baik Ayah nyatanya tidak berhasil baik. Terlalu banyak yang menjadi korban. Selama ini, Ayah menggunakan cara-cara brutal tanpa pertimbangan matang. Ayah gagal bersolidaritas pada Karagan."

Reno meraih sendok dan garpu di hadapanku. Siap melemparnya ke tempat sampah, menyusul sepucuk surat yang mendahului berada di sana.

Aku menahan tangan Reno. "Jangan Ren, benda ini harus Ayah simpan. Ayah tidak ingin terus-terusan lupa."

Reno diam, menghela napas panjang. Menjadi anak dari walikota pesakitan bukanlah hal yang mudah. Anak bungsuku bahkan berusaha menyembunyikan status itu dari teman-temannya. Dalam berbagai peran, aku tidak bisa dibanggakan.

"Ren, jaga Ibu dan adikmu. Ayah harus pergi."

"Ayah mau kemana?"

Aku tidak menjawab, melangkah cepat keluar rumah. Memacu mobil menuju utara, diiringi paduan suara gagak memberi kabar akan tragedi di setiap persimpangan. Bersahutan bersama orkestra hujan yang hampir sepekan menguasai kantor berita di Karagan.

Benar saja, jalan-jalan dilumpuhkan oleh sungai yang berpawai membawa bendera hitam. Mobil-mobil menggerungkan kegelisahan. Emperan toko menggigil kedinginan. Aku menjadi satu-satunya yang dilarang menjajakan keluhan.

Secangkir teh dan selimut hangat menyusuri benak orang-orang dalam jas hujan. Sebagian, hanya berupa khayalan. Tidak ada pelukan ketika kepulangan hanya berupa kematian dan bukan rumah.

Anak-anak kelaparan memeluk lem yang terbungkus kain kumal. Makanan murah yang menawarkan surga, sambil mencuri sel-sel berharga di balik dada dan kepala mereka.

Karagan, kota yang renta sebelum masanya. Kemarahan mampu menggerogoti usia secepat aliran sungai menyebrangi jalan-jalan raya. Aku musuh bersama bagi alam dan manusia. Langkahku murka, kehadiranku bencana.

Hampir tiga jam kemudian, aku tiba di kantor untuk membuat mereka membenci hari Minggu. Menghapus kata berlibur dan menghitamkan tanggal merah. Jajaran paling krusial di Karagan aku kumpulkan. Panggilan rapat dadakan. Semua datang, mengamini kekuatan ancaman terkait gaji dan jabatan.

Hari ini saja, kutanggalkan formalitas dan kutinggalkan di bagasi. Aku bicara tanpa pengantar, dan tidak berencana memberi penutupan selain 'Laksanakan!'.

Kusingkirkan meja rapat. Sebuah kaleng besar aku letakkan di tengah ruangan. Jadwal-jadwal penggusuran, surat izin pembangunan apartemen, berkas-berkas reklamasi, dan semua yang cuma janji kuletakkan di dalamnya.

Belasan kepala yang masih berpikir soal rencana wisata kini hadir penuh. Ketika aku mulai menyiram bensin, kesadaran mereka utuh. Berkas-berkas beraroma investasi menjerit dalam kobaran api. Hal-hal ini menjadi perlu, sebelum kota kami yang berubah menjadi abu.

Program-program pengendalian lingkungan dan pengembangan komunitas pinggiran kutitipkan, pada sekelompok orang yang siap bekerja tanpa sorotan. Semuanya telah disahkan, sebelum surat pengunduran diri kuserahkan pada wakil walikota.

Dengan seizin Tuhan, Karagan akan baik-baik saja saat aku telah tiada.

Rumah, menjadi persinggahan selanjutnya.

Kuhadapi mobil-mobil yang masih cemas kehilangan kecepatan. Luapan sungai ini dampak pertama dari proyek reklamasi setengah jadi. Sedimentasi sungai bukan kabar baik bagi masa lalu Karagan yang berupa rawa-rawa. Lumpur merebut kembali habitat mereka yang pernah terampas puluhan tahun sebelumnya.

Krisis energi pun tidak layak membayar konsekuensi pulau buatan. 

Bisa, tapi untuk siapa?

Sama seperti real estate yang anti kemiskinan. Menguras air, listrik, dan ekosistem alami, sementara masyarakat di sekitarnya belum sanggup memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. 

Sulit disalahkan jika lantas, orang-orang bernasib buruk mencuri lahan dan menarik kabel listrik tidak karuan.

Sederhananya, proyek raksasa ini akan sangat menguntungkan, bagi pejabat kota dan pemodal besar. Hanya saja, tak terjangkau oleh jari-jari yang saat ini gemetaran di bawah jembatan, dan menengadah meminta belas kasihan.

Seperti mimpi-mimpi soal ujung pelangi. Jika nyata, maka ia akan abadi.

Satu urusan lagi, hingga aku benar-benar berlepas diri. Tanganku kelewat kotor untuk merawat kota ini. Aku butuh ruang. Menjauhkan benih kerusakan yang bertahun-tahun kutebarkan.

Mobil terparkir di garasi.

Kupandangi rumah bercat kelabu ini untuk terakhir kali. Dengan topi dan masker, aku menyembunyikan diri. Bersama tas abu-abu, berjalan lurus menuju barat daya. Menjadikan laut sebagai arah mata angin yang harus dijauhi.

Kusimpan jalan pulang di dalam saku, berwarna merah, berupa sepasang sendok dan garpu.

.... bersambung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun