"Reno sudah bicara sama Ibu. Percakapan kita sebelumnya soal Ayah Neira, Reno minta maaf ... Selama ini Reno selalu salah paham. Gara-gara omongan teman kampus yang selalu memojokkan Ayah. Sekarang Reno mengerti, maksud Ayah selalu baik."
Kendati lega oleh pengakuannya, aku menggeleng. "Tidak Ren, niat baik Ayah nyatanya tidak berhasil baik. Terlalu banyak yang menjadi korban. Selama ini, Ayah menggunakan cara-cara brutal tanpa pertimbangan matang. Ayah gagal bersolidaritas pada Karagan."
Reno meraih sendok dan garpu di hadapanku. Siap melemparnya ke tempat sampah, menyusul sepucuk surat yang mendahului berada di sana.
Aku menahan tangan Reno. "Jangan Ren, benda ini harus Ayah simpan. Ayah tidak ingin terus-terusan lupa."
Reno diam, menghela napas panjang. Menjadi anak dari walikota pesakitan bukanlah hal yang mudah. Anak bungsuku bahkan berusaha menyembunyikan status itu dari teman-temannya. Dalam berbagai peran, aku tidak bisa dibanggakan.
"Ren, jaga Ibu dan adikmu. Ayah harus pergi."
"Ayah mau kemana?"
Aku tidak menjawab, melangkah cepat keluar rumah. Memacu mobil menuju utara, diiringi paduan suara gagak memberi kabar akan tragedi di setiap persimpangan. Bersahutan bersama orkestra hujan yang hampir sepekan menguasai kantor berita di Karagan.
Benar saja, jalan-jalan dilumpuhkan oleh sungai yang berpawai membawa bendera hitam. Mobil-mobil menggerungkan kegelisahan. Emperan toko menggigil kedinginan. Aku menjadi satu-satunya yang dilarang menjajakan keluhan.
Secangkir teh dan selimut hangat menyusuri benak orang-orang dalam jas hujan. Sebagian, hanya berupa khayalan. Tidak ada pelukan ketika kepulangan hanya berupa kematian dan bukan rumah.
Anak-anak kelaparan memeluk lem yang terbungkus kain kumal. Makanan murah yang menawarkan surga, sambil mencuri sel-sel berharga di balik dada dan kepala mereka.