Aku tersenyum. Sama seperti sebelumnya, Neira menghindar ketika kami beradu pandang. Kurasa aku tahu alasannya, tapi tidak siap jika harus memastikan.
"Wajah saya pasaran, ditambah kacamata dan topi saja wartawan tidak akan sadar," jawabku, bersikap seramah yang kumampu.
Neira membuka pintu gerbang yang masih berlabel CLOSED. Aku tersenyum. Kumasuki pintu masuk dengan ayunan langkah ringan. Dan, terpana. Ternyata gerbang ini benar-benar menyimpan negeri dongeng di dalamnya.
Dua orang penunggang kuda melintas, mengucapkan selamat pagi. Pak Wangsa melambaikan tangan ke arah kami. Seekor ular besar tergantung di lehernya. Semua orang melenggang tenang, sementara seekor singa jantan berjalan bebas di luar kandang. Berdampingan dengan pemuda yang tampak santai seperti tengah membawa anjing peliharaan untuk jalan-jalan.
"Bagaimana kalian melakukan ini?" tanyaku penuh kekaguman.
"Melakukan apa?"
"Ini semua. Mereka terlihat sangat jinak."
"Kami tidak menggunakan kata 'jinak' di sini. Mereka bersahabat. Metazoa adalah persahabatan."
"Metazoa nama yang menarik. Kenapa memilih nama itu?"
"Bapak tidak tahu? Itu nama usulan Reno. Metazoa bagi kami menjadi simbol bahwa manusia dan spesies lain di muka bumi ini memiliki kesamaan. Kita memiliki satu raja dalam satu kerajaan. Kita semua berhak mendapatkan perlakuan baik dan hidup harmonis tanpa saling menyakiti," jawab Neira dengan kilau mata berpendaran.
"Bagaimana dengan hewan liar? Eh ... maksud saya yang tidak bersahabat. Predator misalnya," tanyaku seraya menunjuk singa yang tengah bersandar santai di bawah pohon rindang.