(Semesta dalam perspektif orang ketiga)
Mengapa indah pelangi begitu mudah pergi?
Pesan singkat berbau metaforis campur banyak melankolis itu sampai di telepon genggam seorang pria setengah baya. Ia menunjukkannya padaku seraya bertanya, "Menurutmu, apa jawabannya?"
Tak siap ditanya, aku mengangkat bahu. "Entahlah, mungkin karena Tuhan ingin kita lebih menghargainya."
Dia hanya mengangguk-angguk dengan raut yang sulit ditebak. Tidak tampak setuju, apalagi menyangkal. Satu ekspresi ambigu yang mengagumkan. Dalam perdebatan kami, aku merasa kalah setiap kali ia mengalah.
Aku meraih secangkir kopi hitam. Baru saja aku ingin memberi jawaban lain ketika pemilik kedai mendadak panik, kalang kabut keluar. Kecemasan mengisi gurat wajahnya.Â
Belasan orang itu datang lagi. Kali ini, mereka bersama beberapa orang bersenjata api dan buldoser. Menciptakan atmosfer teror bagi pemilik bangunan di sepanjang tepi rel kereta api.
Setiap orang mempertahankan segala hal yang mereka bangun selama bertahun-tahun. Mereka berkerumun menantangi buldoser, bertengkar dengan petugas berseragam hijau. Ricuh. Kata menyerah tidak ada dalam kamus kedua kubu.
Seorang pria setengah baya yang kukenal mengadang laju buldoser yang hendak menyerang kedai kopi.
Terlambat, dia tertimbun bersama kayu lapuk dan seng-seng berkarat. Aku tersentak, tanganku tiba-tiba berada pada kemudi buldoser yang membunuhnya.
Aku melepaskan genggaman, tapi benda ini menolak berhenti, membabi buta. Meratakan setiap bangunan bersama orang-orang yang menjadi penghalang. Setiap kali ada yang mati, darah melumuri tanganku semakin pekat.