Tak lama berselang, kedamaian berakhir di ujung jalan. Aku memasuki kawasan permukiman. Bantaran sungai dan lahan-lahan marginal yang rawan penggusuran.
Kurasakan sekali lagi paru-paruku gagal menguasai diri. Aku bernapas seperti orang tengah berlari. Kenangan dan kesadaran mengikatku dalam kumparan yang terasa begitu menjerat.
Selama ini, aku tidak paham alasan orang-orang bertahan di permukiman kumuh yang bisa saja sampai membunuh. Melalui mimpi mengerikan itu, aku menyadari bahwa mereka memang tidak mampu pergi. Mereka terikat pada hal-hal yang tidak mudah dimengerti oleh kelas menengah kota ini.
Kebanyakan mereka menganggap masa depan hanya cerita pengantar tidur bagi anak-anak kecil. Rencana menjadi algoritma yang terlalu rumit. Mereka terjebak dalam jaring prioritas jangka pendek. Makanan untuk esok hari dan hiburan murah yang mudah dijangkau. Berpikir membutuhkan waktu lebih banyak, sementara istri mereka sudah rindu menggunakan dapur.
Perkotaan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang, menolak mereka sejak di pintu gerbang. Jaminan sosial dan lapangan kerja menjadi dua fatamorgana yang menipu banyak orang. Kantor-kantor pelayanan masyarakat diramaikan oleh para petugas yang suka mengeluh dan orang-orang malang yang tidak mengerti persoalan administrasi.
Mengapa indah pelangi begitu mudah pergi?
Pesan singkat dan wajah Gau muncul sekelebatan. Juga sepasang mata penuh luka milik gadis bernama Neira.
Aku termenung menatap jam tangan yang menunjukkan pukul delapan. Lantas berbelok ke kanan, melaju, semakin jauh dari kantor pemerintahan.
***
Gapura itu bagai pintu masuk ke negeri dongeng. Dihiasi sulur rimbun dan bunga-bunga warna magenta. Tanaman pagar digunting rapi, dibentuk menyerupai barisan huruf yang terbaca M-E-T-A-Z-O-A.
"Bisa ya, walikota pergi tanpa pengawalan?" tanya seorang gadis berkerudung hitam di depan gerbang.