Terlalu lama memandang matahari bisa menghalau pandangan terhadap mereka yang hidup dalam bayangan. Bagai seorang pemabuk yang tak mendengar ginjalnya merengek minta dibawa ke rumah sakit.
Keinginan selalu dibandrol dengan harga tinggi. Harapan sedikit lebih murah, tapi tidak meyakinkan.
Belum lagi, tragedi tidak pernah ingkar janji. Kedukaan menanti, memeluk orang-orang yang belum mati.
Menerima merupakan satu-satunya cara untuk bersiap. Berulang kali tanda-tanda menghampiri. Menjadi firasat dan bisik nurani yang ingin disapa. Kita tidak pernah dibiarkan-Nya sendiri.
Dia, gadis yang sedang bersimpuh menghadap lautan, akhirnya menyadari itu.
Sehelai bulu hitam jatuh di tangannya. Seekor gagak terbang rendah. Wajah gadis itu seketika cerah seperti langit sore.
Kurasa dia sudah tahu, tidak ada yang benar-benar hilang. Rumah, ayah, dan masa kecilnya masih ada. Tidak ada yang terenggut dan merenggut, karena kepemilikan hanya sebatas fana. Permainan waktu. Begitu pula kehilangan.
Lamat-lamat, langit menjatuhkan selimut ungu kemerahan. Rok hitam lebarnya sudah setengah basah ketika ia beringsut pergi. Butiran pasir menempel di sana, tidak ingin ditinggalkan.Â
Tangannya yang kedinginan terpaksa menyingkirkan mereka. Dia ingin pulang tanpa membawa apa-apa selain ketenangan dan ingatan soal melepaskan.
Setelah beberapa langkah, ia berhenti. Menoleh ke belakang, menatapku dalam.
Kedua mata itu indah, seterang bintang penuntun arah. Dia tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Aku hanya diam, mengangguk pelan.