Bisa jadi, ada kaitannya dengan keramaian di seberang sana.
Sejak siang, orang-orang memadati pulau buatan yang belum dirampungkan. Dari kejauhan kulihat banyak wanita menangis dalam pelukan. Doa-doa kematian sayup terdengar. Aku simpulkan, ada yang pergi dan ditinggalkan.
Kuakan gagak membahasakan kisah tentang orang-orang yang tidak akan kembali ke rumah. Alam bicara tanpa pendengar, sesunyi kepakan camar. Ada yang salah, tapi bukan pada siapa, melainkan bagaimana.
Kota ini dihuni orang-orang baik yang kebingungan. Berpegang pada kebenaran yang berbeda-beda. Mereka tidak berpikir lebih dalam karena kekurangan waktu luang. Menutup kemungkinan bahwa bisa jadi, kebenaran yang mereka perjuangkan telah usang. Aku tahu, kebenaran selalu berlaku pada setiap keadaan.
Lantas, bagaimana jika mereka tidak pernah sepenuhnya benar?
Pulau buatan bukan sebuah ide buruk. Di sana, dijajakan janji manis soal masa depan. Hanya saja, waktu yang akan datang tidak pernah mengandung kepastian. Akan sangat menyedihkan jika dalam detik-detik berjalan, ada yang harus menahan sakit untuk sebuah pertaruhan.
Mereka saling berteriak, dan tak ada yang sudi mendengarkan. Semua memeluk mimpi dan keinginan siang hari untuk dibawa hingga peti mati. Berkejaran, saling mendahului untuk menjadi satu-satunya pemenang yang ambisinya terpenuhi. Kesabaran dan kasih yang terpasung membuat mereka terburu-buru, enggan menunggu.
Pada kemilau lautan dan kepiting-kepiting kecil saja, mereka mampu bicara dengan prasangka. Seminggu lalu, seorang pria berwajah lelah datang. Ia duduk di altar pasir yang sama dan menyampaikan keluhan serupa. Mereka mengadu soal manusia-manusia lainnya.
Tidak salah, tapi gegabah.
Perihal hati manusia adalah sebuah misteri besar. Tidak ada yang benar-benar paham. Hipokampus manusia mengkonsolidasi banyak memori yang kita sebut masa lalu. Hantu-hantu yang dibentuk oleh proses biokimia dan molekuler rumit. Melibatkan rangkaian peristiwa dan kejadian hingga membentuk buah pikiran.
Manusia menilai manusia, merupakan pekerjaan besar yang tidak bisa dilakukan tanpa menelusup ke dalam celah otaknya. Keterbatasan pengetahuan hanya mampu menghakimi, tanpa rasa empati. Persepsi yang menciptakan kebencian, tudingan, dan pertikaian tanpa jalan keluar. Pada akhirnya, kedamaian menjadi korban.
Mengalah dan memaafkan menjadi barang mewah yang tidak mampu mereka rengkuh. Saling memahami hanya ilusi. Percaya diri adalah kayu lapuk yang hancur dimakan rayap.