Lima detik itu datang lagi. Kali ini, aku melayang lebih tinggi. Dan, lebih asing. Ditambah suara dentum besi bertemu besi yang melatari ucapan Reno. Ia mengulang-ulang kalimat yang sama, Ayah terlambat menyelamatkan rakyat.
Rakyat, rakyat yang mana? Ada berapa rakyat yang bisa selamat dan berapa yang semakin melarat? Apa masalahnya? Kebijakan yang gagal? Pemerintahan yang buruk? Peraturan salah sasaran?
Metazoa, Ayah. Suara Reno kembali terngiang.
Metazoa? Apa maksudnya?
"Bagaimana? Apakah Bapak setuju?"
Aku tersentak. Apa yang perlu disetujui? Aku mencoba menerka, tapi sia-sia. Bisa jadi, aku malah menjatuhkan wibawa sendiri jika salah bicara. "Coba kamu simpulkan dulu poin-poinnya," perintahku pada sekretaris di seberang meja.
Tapi, ternyata kekhawatiranku terlalu berlebihan. Inti pertemuan masih tak lepas dari lingkaran syair investasi dan janji-janji. Bagi hasil antara pemerintah daerah, pemodal, dan sangat sedikit manfaat untuk rakyat. "Kita sholat dulu. Sudah adzan setengah jam lalu."
Aku memutuskan untuk tidak memberi keputusan. Aku malu, merasa dikasihani oleh gelas-gelas kopi dan makanan yang mendingin. Aku bukan hanya sering kalah, tapi juga kerap salah. Kota ini tak lebih dari belukar, tempat ular-ular menjadikannya surga.
"Tapi kita harus segera memberi kepastian pada pemodal, Pak."
"Ini sudah waktu sholat," sahutku dingin. Tampak dari jendela, peluh pekerja bangunan merayakan kehangatan. Mendekap harapan anak kecil dalam tubuh yang kelelahan.
"Dua hari lagi ..."