Aku mendarat tanpa rasa sakit dalam ruangan serba putih. Ada istri dan kedua anakku yang memandangi, penuh kecemasan. Mudah diidentifikasi, aku terbaring di rumah sakit.
"Apa yang terjadi di proyek?" tanyaku panik. Suara-suara keras yang memekakkan telinga menjadi satu-satunya memori yang kuingat sebelum hilang kesadaran.
"Ada ledakan pipa gas. Reno belum tahu pasti, tapi ada sekitar lima orang tewas di tempat. Tujuh orang dalam perawatan intensif."
Mataku terpejam, mengumpulkan tenaga. Aku harus segera pergi dari sini. Kuminta istriku memanggil dokter. Aku memaksa melepaskan selang infus.
Dua jam kemudian, aku sudah di mobil dengan Reno dan dua ajudan. Menembus tirai langit yang luruh kemerahan. Kami memasuki halaman proyek reklamasi dalam sambutan kamera dan pertanyaan-pertanyaan klise dari wartawan yang tidak dapat aku dengar.Â
Aku mencurigai kerapatan udara. Hanya ada hening dan lagi-lagi, telinga yang berdenging.
Sore ini, sungai manusia bermuara di pantai utara. Dengan sendi tanpa tenaga, aku menapak di tengah ratusan orang yang membawa berbagai rasa. Banyak belasungkawa, lebih banyak yang penasaran saja.Â
Matahari buru-buru terbenam. Memendam rahasia yang sudah lama diketahui bersama, dan dendam-dendam.
Bersama hujan malam hari, doa-doa keluar dari lemari. Bising.
Sekali lagi, aku melayang dan semakin merasa asing.
... bersambung ke sini.