"Bubarkan saja mereka," kataku seraya menghempaskan diri ke kursi. Mengalihkan perhatian dari kegaduhan yang semakin menjadi. Sepenuhnya menyadari, bentrokan tidak bisa dihindari. Lebih baik mereka segera enyah, karena kami tidak akan mengalah.
Praang!!!
Pecahan kaca jendela menghiasi lantai ruangan. Sebongkah batu menggelinding di atas meja, berhenti tepat di bawah gelas kaca. Aku mematung.
Beban di pundak terasa semakin berat, terpikul nyawa kota yang tengah sekarat. Tidak ada pikiran yang benar-benar jernih. Di setiap sudut, hati rakyat perih merintih. Aku memaki, ditertawai jam dinding bisu yang tak pernah berniat menggelontorkan waktu.
Pukul dua siang.Â
Tujuh ribu dua ratus sekon terlewatkan sejak gelombang suara dari masjid-masjid memenuhi udara. Panggilan azan tidak lagi ada artinya, seolah tak pernah menggema. Doa-doa hanya pengisi lemari. Senjata ampuh yang menjadi anak tiri.
Mereka sama saja, barisan orang-orang yang merindukan rumah, tapi melupakan jalan pulangnya.
***
Satu, dua, tiga.
Aku menghitung amplop putih berlogo SG yang tergolek di ruang tamu. Kendati berwarna putih, ada horor dan teror yang terkandung di dalamnya.
Serunai Group. Mereka tercipta sebagai kumpulan manusia tanpa kata putus asa. Negosiasi, rayuan, hingga akal bulus, kini beranjak menjadi ancaman serius.