Aku menurut. Melangkah menuju Sinai, diiringi riuh rendah dari segala penjuru kampung wisata. Untuk sekian lama, aku direngkuh suasana yang dulu membuatku terpikat.
"Kenapa kamu ingin bertahan di sini?"
Kaget, jantungku tersentak. Aku nyaris berjingkat. Untuk kesekian kali, Reno muncul tanpa suara langkah mendahului. Cocok sekali mendapat peran di film horor, bermodal wajah pucatnya itu.
"Boleh aku beri saran? Sebaiknya kamu memakai lonceng di kaki supaya tidak selalu mengagetkan orang," ujarku kesal.
Reno tersenyum jahil. Detik melambat pada pusaran tatapannya. Menelanku bulat-bulat seperti pasir hisap.
Jangan melawan, matanya bicara.
Segera kualihkan pandangan pada Sinai dan anaknya yang begitu lahap menyantap daging. Ego masih belum rela mengibarkan bendera putih. Hatiku dibungkam kenyataan bahwa Reno adalah anak dari seseorang yang ikut andil dalam ironi kematian Ayah. Hubungan kami tak lebih dari siasat perang.
"Nei, bisakah kamu tidak lari dari pertanyaan?"
"Maksudnya?"
"Saya cuma bertanya satu hal. Kenapa kamu bertahan di sini?"
Aku mengangkat alis. "Sederhana saja, karena kita semua sama. Satu kerajaan dan naungan," tuturku.