Reno hanya sibuk makan, ongkang-ongkang kaki seperti di rumah sendiri. Eh, benar juga sih. Ini memang rumahnya.
"Maaf, saya memotong pembicaraan. Kamu ... pernah kemari sebelumnya?" Pak Wira menatapku lekat, berusaha mengingat.
Aku tersekat. Bukan saat yang tepat. Emosiku memberontak. Kuarahkan pembicaraan, kembali pada topik kampung wisata. "Jadi bagaimana menurut Bapak, apakah rencana kami bisa dijalankan?"
Pak Wira terkejut pertanyaannya dimentahkan begitu saja. Aku memandang lurus ke meja.
"Saya yakin kamu pernah ke rumah ini," ujar Pak Wira, masih menginginkan jawaban.Â
Penjelasan macam apa yang bisa kujabarkan? Haruskah aku mengaku sebagai anak dari sosok martir di bawah cemara? Atau anak yang ia suap untuk meredam dendam?
"Jika Bapak setuju dengan rencana kami, saya yakin kampung wisata akan kembali ramai pengunjung. Kawasan retensi air juga aman tanpa gangguan."
"Ya, ya, kamu tenang saja. Saya setuju. Bisa kamu jawab dulu dimana kita pernah bertemu?"
"Baik. Baguslah, jika Bapak sudah setuju. Kami harus segera kembali, banyak yang harus dikerjakan," Aku berdiri, diikuti Pak Wangsa. Reno bengong, mematung.
"Ya, silahkan. Nanti asisten saya kirim dana yang kalian butuhkan. Saya tunggu kabar baiknya dalam ... dua bulan?"
"Dua setengah bulan," jawabku mantap. Pak Wira mengangguk.