Riana mengucek matanya yang mulai memerah. Sudah pukul 03.00 subuh, tapi jari-jarinya masih fokus berkutik dengan huruf-huruf di keyboard. Sore itu, selepas pulang sekolah ide-ide bermunculan di kepalanya. Tidak peduli dengan waktu, cerita ini harus segera rampung sebelum ide itu hilang lagi.
Dia menarik nafas sejenak. Membuka handphone yang sedari kemarin ditelantarkannya. Terlihat beberapa panggilan tidak terjawab disertai pesan masuk menghiasi layar hape-nya. Riana memang sengaja meng-silentkan hape-nya agar tidak ada yang mengganggunya saat menulis, termasuk lelaki yang saat ini membuatnya patah hati.
Kamu gak bisa kayak gini, Daniel. Mengambil keputusan seenaknya. Ayo, siang nanti kita bicarakan baik-baik. Aku gak bisa terima kamu putusin gitu aja tanpa aku tau salahku apa?!
Riana memencet tombol send. Ingin rasanya dia nelpon balik lelaki itu. Tapi percuma, hal itu hanya akan menggangu Daniel yang sedang tidur lelap. Dilemparnya handphone tadi. Sekarang ide-ide di otaknya sudah buyar karena Daniel. Matanya yang merah, kini mulai meremang. Diraihnya kembali benda kotak panjang berwarna merah itu.
Daniel, aku sayang kamu. Aku gak mau kita putus!
Dia mengirimkan sms lagi kepada Daniel, meskipun Riana sendiri tau kalau Daniel tidak mungkin langsung membaca pesannya. Diam sejenak, kemudian dia menutup layar laptop dan merebahkan diri di kasur. Kesekian kalinya Riana dibuat nangis oleh lelaki itu. Hatinya sekarang kalut. Hanya ada satu cara untuk mereda kesedihannya, Leo. Ya, cuma Leo yang mampu menghibur dirinya.
Riana memijit beberapa angka di tuts hape-nya. Dia sudah hafal nomor telpon sahabatnya itu. Sudah tersambung. Tak lama kemudian, dari balik telpon genggamnya terdengar suara parau seorang lelaki.
"Ada apa, Ri?"
"Gue ganggu lo, nggak?" tanya Riana
"Ganggu banget. Ada apa? Lo belum tidur?"Â Suara paraunya berubah agak tegas.
"Ya udah, enggak apa-apa. Selamat tidur kembali aja."
"Gue becanda. Ada apa? Cerita sama gue! Tumben jam segini nelpon. Lo belum tidur?"
Leo mencecar perempuan itu dengan beberapa pertanyaan yang sebenarnya ingin Riana jawab. Tapi jika detik ini dia menceritakan kesedihannya kepada Leo, air mata gadis itu akan tumpah. Dan itu tetap sia-sia, karena tidak ada pundak Leo untuk dijadikan sandaran.
"Hey, Ri!" suara Leo membuyarkan lamunannya.
"Gue ..."
"Iya, kenapa?", suara Leo berubah panik.
"Gue ... ngantuk, mau tidur! Dadah ..."
Riana langsung menutup telponnya. Beberapa detik kemudian Leo mengirim pesan singkat untuk Riana.
Lo tidur aja. Nanti di sekolah ceritanya. Awas kesiangan. Gue gak mau nemenin lo dihukum!
Riana mengerutkan dahinya. Senyumnya melebar. Ia tertawa kecil setelah membaca sms dari Leo. Memang cuma Leo yang bisa membuatnya tersenyum. Apalagi kalau sudah membayangkan kacamatanya yang berembun saat makan ramen panas. Itu saat-saat yang tepat untuk mem-bully lelaki itu. Entah apa perasaan Leo saat ini, yang pasti mungkin dia kesal karena sudah diganggu tidur indahnya oleh Riana. Pikir gadis itu.
***
Riana meraba-raba mencari ponselnya yang sedari tadi berdering. Matanya setengah tertutup dan rambutnya acak-acakkan.
"Iya ...," sahutnya dengan suara setengah serak.
"Lo dimana? Bentar lagi bel."
Mata Riana terbelalak. Â Segera ia melihat ke arah jam. Gadis itu langsung meloncat ke bawah kasur lalu berjalan menuju lemari. Tangan kirinya memegang ponsel supaya menempel di kupingnya. Sedangkan tangan kanannya sibuk mencari handuk dan piyamanya di lemari.
"Gue baru bangun," ucapnya.
"Serius? Lima belas menit lagi bel, Ri!"
"Sepuluh menit, gue beres," ucap Riana meyakinkan.
"Gue ke rumah lo sekarang!"
"Jangan. Nanti lo kesiangan."
"Cepetan siap-siap!"
Leo mematikan teleponnya. Riana segera berhambur ke kamar mandi. Ia tau apa yang dikatakan laki-laki itu semalam bahwa Leo takut dihukum adalah bohong. Jikapun benar, lelaki itu hanya takut dihukum oleh Riana. Dipecat jadi sahabat.
Leo yang sedang duduk di kelas segera menuju tempat parkir di pekarangan. Ia menghidupkan motornya berlawanan arah dengan para siswa yang lain lalu memacunya dengan kecepatan tinggi. Sebelas menit berlalu, ia sudah tiba di rumah Riana. Seragamnya yang rapi, kini menjadi lusuh berantakan.
Leo segera memijit bel rumah Riana. Tak lama kemudian, sosok perempuan berumur tiga puluhan keluar dari balik pintu.
"Eh, nak Leo," sambutnya.
"Tante," balas lelaki itu sambil mencium punggung tangan mama Riana.
"Mau jemput Riri, ya?"
"Iya, Tan."
"Tuh anak, tante kira enggak bakalan sekolah. Soalnya baru bangun, sih," ucap mama Riana.
Leo hanya tersenyum. Mama Riana mempersilakan sahabat anaknya itu masuk.
"Mau minum apa?"
"Enggak usah tan, sebentar kok," balas Leo.
Perempuan paruh baya itu menganggukkan kepalanya. Ia tersenyum lalu meninggalkan Leo. Dari jauh terdengar suara mama Riana memanggil-manggil Riana agar segera berangkat sekolah, tentunya sambil mengomel.
Leo dan keluarga Riana sudah sangat akrab. Ayah Leo merupakan sahabat karibnya papa Riana sejak SMA. Riri adalah panggilan kesayangan untuk Riana. Hanya orang-orang terdekatnya yang memanggil Riana dengan sebutan itu. Meski orang tua mereka akrab, Leo dan Riri tidak ada niatan untuk dijodohkan. Mereka berfikir bahwa perjodohan adalah sesuatu yang merusak cinta. Jarang sekali terpikirkan oleh orang tua kebanyakan.
Tujuh menit berlalu, Riri muncul dengan memakai kacamata hitam. Dia sedikit berlari ke arah Leo. Melihat penampilan Riri, Leo merasa kebingungan.
"Kok, lo ...,"
"Udah, nanti aja!" Riri memotong pertanyaan Leo yang belum beres. "Ma, Riri berangkat," teriaknya sambil mengajak Leo untuk segera pergi.
Leo langsung menancap gas. Riri memakai helm berwarna coklat pastel pemberian lelaki di depannya.
"Gue tepat waktu, kan?" tanya Riana dengan percaya diri.
"Enggak! Ngaret tiga menit," jawab Leo.
"Ih, cuma tiga menit ini. Lagian rajin banget sih dihitung. Wle!" Riana menjulurkan lidahnya. Leo hanya tersenyum. Ia fokus mengendarai motornya.
Mereka semakin dekat menuju sekolah. Dari kejauhan terlihat gerbang sudah ditutup. Hati Leo berdebar. Ini adalah kali pertamanya dia kesiangan. Sebenarnya Leo termasuk salah satu siswa teladan. Selain disiplin, dia juga cerdas, bahkan beberapa kali memenangkan olimpiade. Tapi, demi Riri, lelaki itu menyembunyikan kegusaran hatinya. Riana juga menyadari hal itu. Karena untuk Leo ini adalah hal yang memalukan. Berbeda dengan dirinya, semenjak sekolah dasar gadis itu sudah biasa mengalami hal seperti ini.
Riana turun dari motor. Dia memanggil pak satpam agar gerbangnya segera dibuka. Leo memperhatikan Riana di motor. Beberapa kali bernegosiasi, Riana gagal. Akhirnya Leo turun, dan menghadap pak satpam.
"Eh, nak Leo," pak Daris tersenyum kepada lelaki itu.
"Iya, Pak. Maaf kami kesiangan, Pak," ucapnya.
Riana mengamati dua laki-laki yang sedang bercakap itu. Tak berselang lama, pintu gerbang mulai dibuka oleh pak Daris. Leo memarkirkan motornya. Mereka mulai berjalan menuju kelas.
"Gimana gue hebat, kan?" ucap Leo memuji dirinya sendiri.
"Belum hebat kalau kita enggak lolos dari hukuman di kelas," tukas Riana.
"Oke. Siapa takut," balas Leo.
Sebelum masuk ke kelas, Leo pamit pergi sejenak kepada Riana. Tak sampai lima menit, lelaki berkaca mata itu sudah ada di hadapannya. "Ayo, masuk," ajak Leo. Mereka memasuki kelas. Sebelum duduk, dia memberikan secarik kertas kepada pak Darto yang sedang mengajar di kelasnya. Semua aman terkendali. Bahkan pak Darto tidak memarahi Riana yang memakai kacamata hitam ke dalam kelas. Dalam hatinya, Riana berdecak kagum pada sahabatnya itu. Namun disisi lain, ia merasa bersalah karena sedari kecil selalu menyusahkan Leo.
***
Perasaan Riana masih tak karuan karena pesan singkat yang dia terima dari kekasihnya, Daniel. Gadis itu tak bisa fokus dengan yang pak Darto jelaskan di depan. Pikirannya terpusat pada ketua tim basket itu.
Bel istirahat berbunyi. Riana langsung pergi keluar kelas. Leo yang melihat Riana terburu-buru pergi hanya diam penuh tanya. Beberapa menit berlalu. Keadaan kelas sudah mulai kosong, hanya ada Leo dan dua temannya yang sedang mengambil sesuatu. Riana sudah kembali ke kelas. Sejenak Leo menatapnya dengan gusar, lalu kembali menyibukkan diri dengan bukunya. Melihat Leo seperti itu, Riana langsung menghampirinya.
"Leo, lihat gue!" perintah Riana.
"Apa sih, Ri? Gue lagi sibuk," jawab Leo datar. Padahal dalam lubuk hatinya dia penasaran dengan gadis itu. Riana menutup buku yang sedang Leo baca. Lelaki itu berdecak kesal. "Apa?" lanjutnya.
Riana menengok ke kanan dan kiri. Setelah dirasa aman, dia segera membuka kacamata hitamnya.
"Ri!" ucap Leo kaget. Tangannya dengan lembut menyentuh mata Riri yang sembab dan merah. "Ini pasti gara-gara semalam lo gak tidur, kan?!"
Riana menurunkan tangan Leo dari wajahnya. Ia hanya mengangguk.
"Lo nangis?" tanya Leo lagi. Riana diam terpaku. "Gara-gara Daniel?" lanjutnya.
"Bukan." Riana menggelengkan kepalanya. Jauh dari lubuk hatinya, dia ingin berkata, 'iya, Leo. gue nangis lagi karena laki-laki yang gue cintai,'. Tapi Riana berfikir dua kali sebelum menceritakan kejadian semalam kepada Leo. Sahabatnya itu pasti enggak bakalan terima kalau Riana menangis kesekian kalinya oleh Daniel.
"Terus kenapa? Katanya mau cerita! Waktu subuh tadi ada apa nelpon gue?" pertanyaan Leo bertubi-tubi kepada Riana. Gadis itu membuang nafas sejenak. Sepertinya dia akan berbohong kepada lelaki di sampingnya.
"Jadi gini, sebenarnya waktu semalem gue nulis. Pulang sekolah kemarin, di otak gue tiba-tiba ide bermunculan gitu aja. Sayangkan, kalau gue lewatin?" Riana mengangkat bahunya. "Ya udah, gue nulis aja sampai subuh." Jawab Riana mencoba meyakinkan Leo.
"Terus kenapa lo nelpon gue?"
"Kan gue udah bilang, cuma mau ganggu lo!" ucap Riana sambil kembali memasangkan kaca mata hitamnya. Dia berharap Leo percaya dengan apa yang ia katakan. Leo mengerutkan keningnya dan memasang wajah masam kepada Riana. Tapi itu lebih baik, daripada Riana terus dicecar dengan pertanyaan yang menyangkut dirinya dengan Daniel.
Leo kembali membaca bukunya. Tapi, dia masih penasaran dengan perilaku gadis itu.
"Barusan lo darimana?" tanya Leo dengan pandangan yang masih mengarah ke bukunya.
"Dari toilet, ngecek mata. Hehe." Riana tertawa nyengir. Kali ini gadis itu berucap jujur. Leo hanya menjawab "Oh" dengan datar.
***
Hari menjelang sore. Hampir semua siswa sudah meninggalkan sekolah. Riana memegangi ponselnya berharap Daniel memberikan kabar. Sejak pagi tadi dia belum bertemu dengan lelaki itu. Kabarnya Daniel tidak masuk sekolah. Hatinya sedih bercampur bingung karena Daniel sudah menggantungkan hubungan mereka. Dia ingin meminta kejelasan sesegera mungkin. Tapi disisi lain, Riana lega karena Daniel tidak melihat matanya yang sembab.
Daniel dan Riana menjalin hubungan hampir dua tahun lamanya. Namun beberapa kali perempuan itu menangis karena Daniel. Perlakuan Daniel yang acuh tak acuh kepada Riana membuatnya semakin tersiksa. Ditambah perlakuan kasar Daniel yang tidak diketahui siapapun, termasuk sahabatnya, Leo. Dia tidak ingin menyulutkan api diantara dua lelaki itu, meskipun pada kenyataannya Leo kurang suka dengan Daniel, begitupun sebaliknya.
"Ri." Suara Leo mengagetkan Riana. "Pulang?" lanjutnya.
Riana berusaha meriangkan diri. "Duluan aja," jawabnya.
"Mau kemana?"
"Mmm, gue ada kumpulan sama anak-anak tari."
"Hari ini kan bukan jadwal kumpulan lo?"
"Iya, sih. Tapi beberapa minggu lagi kan mau ada acara. Jadi, tim gue nyiapin buat nanti."
"Oh, ya udah gue duluan, ya."
Leo membalikkan badannya meninggalkan gadis itu. Betapa beruntungnya Riana bisa bersahabat dengan orang seperti Leo. Meskipun banyak orang yang tidak suka dengan sikap dinginnya, tapi Riana tau kalau Leo adalah seseorang yang hangat bahkan sangat lembut.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H