Mohon tunggu...
Popi Fitriani
Popi Fitriani Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - XII MIPA 2 - SMAN 1 Padalarang

don't compare urself to other.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Si Kepala Macan

27 November 2021   23:20 Diperbarui: 27 November 2021   23:35 558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source : Wikipedia "Mas Tirtodarmo Haryono"

Kota Gresik merupakan salah satu kota yang ada di provinsi Jawa Timur. Kota ini sudah dikenal sejak abad ke-11 sebagai pusat perdagangan antar pulau dan juga meluas ke berbagai negara. Selain menjadi pusat perdagangan, Gresik juga pernah menjadi pusat agama Islam yang termashur di Indonesia ketika Waliullah Sunan Giri bersemanyam disana. Hingga saat ini, keturunan Sunan Giri memakai gelar "Mas" di depan namanya.

Pada tahun 1924, yang menjadi asisten wedana (camat) di Kalitengah, Gresik, ialah Mas Harsono Tirtodarmo, dan pada bulan Januari tahun itu ia dinaikkan pangkatnya menjadi jaksa di Sidoarjo. Karena itu ia terpaksa meninggalkan istrinya, Ibu Patimah yang sedang mengandung tua untuk pindah ke Sidoarjo.

"Apa tidak apa-apa mas meninggalkan adek disini?" tanya Mas Harsono kepada istrinya yang sedang duduk sambil mengelus-elus perutnya yang buncit.

"Tidak apa-apa, Mas. Adek kan ditemani 2 anak kita, adek pasti baik-baik saja," jawab Ibu Patimah.

Setelah banyaknya pertimbangan, akhirnya Mas Harsono pun pergi ke Sidoarjo. Namun baru setengah perjalanan, hal yang ia khawatirkan pun terjadi. Ia mendengar istri tercintanya sudah akan melahirkan. Dengan cepat ia memutar balik tujuan perjalanannya.

Akhirnya pada tanggal 20 Januari 1924, lahirlah anak mereka yang diberi nama Mas Tirtodarmo Haryono, yaitu aku. Agar lebih singkat, aku lebih dikenal dengan panggilan M.T. Haryono atau Haryono. Aku lahir sebagai seorang putra Jaksa, dan itu memberiku kesempatan untuk mengenyam pendidikan sampai ke perguruan tinggi.

Ketika umurku 6 tahun, bapak memasukkanku ke sekolah HIS ( Hollandsch Inlandsche School). Disana aku memiliki banyak teman. Aku sering bermain dengan mereka dan menjadi pemimpin yang dijuluki "Si Kepala Macan" karena watakku yang keras. Sampai kelas 3, aku dipindahkan lagi ke sekolah ELS (Europeesche Lagere School), dan melanjutkannya lagi ke sekolah HBS (Hogere Burgerschool).

Ketika perguruan tinggi kedokteran GHS (Geneeskundige Hogeshool) dibuka kembali oleh Jepang dengan nama Ika Dai Gakko, aku pun langsung masuk kesana. Sejak dulu, aku memang ingin menjadi seorang dokter.

Tapi belum selesai menyelesaikan pendidikanku disana, aku mendengar kabar bahwa Jepang menyerah dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Sebagai salah seorang pemuda, aku tidak mau ketinggalan dalam usaha mempertahankan kemerdekaan RI usai diproklamirkan.

 Aku pun cepat-cepat memberitahu bapak akan keinginanku untuk menceburkan diri ke dalam kancah perjuangan militer.

"Apakah bapak sudah mendengar kabar hari ini?" tanyaku pada bapak.

"Sudah, Nak. Radio dan surat kabar kini penuh dengan berita ini. Memangnya ada apa?"

"Aku ingin ikut dalam mempertahankan kemeredekaan ini, Pak. Aku ingin masuk dalam dunia militer," ucapku bersungguh-sungguh.

"Bagaimana dengan kuliahmu? Kau sudah 3 tahun disana, apa tidak sayang?" tanya bapak.

"Tidak, Pak. Aku akan berhenti dan melanjutkan pendidikanku di bidang kemiliteran saja"

"Baiklah jika kemauanmu begitu. Bapak tidak bisa melarang, bapak hanya bisa mendukungmu"

Setelah mendengar jawaban bapak yang membuatku gembira, aku pun masuk ke TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Pada masa awal pengangkatan, aku mendapatkan jabatan sebagai Mayor. Jabatan itu memotivasiku untuk gigih dalam menjalankan tugasku. Aku mendapat prestasi berkali-kali dan membuatku naik pangkat hingga menjadi Letnan Jendral.

Selama terjadinya perang mempertahankan kemerdekaan yakni antara tahun 1945 sampai tahun 1950, aku sering dipindah tugaskan. Pertama, aku ditempatkan di Kantor Penghubung, kemudian diangkat sebagai  Sekretaris Delegasi Militer Indonesia  pada saat Konferensi Meja Bundar. Lalu pada bulan Juli, aku diangkat menjadi Atase Militer RI di Den Haag, Belanda.

Selain itu, karena aku memiliki kemampuan fasih dalam tiga bahasa asing (Belanda, Inggris, Jepang), aku mendapatkan peran penting, yaitu peran sebagai penyambung lidah di berbagai perundingan. Dan aku juga pernah menjadi Deputi III Menteri/Panglima Angkatan Darat.

Setalah lumayan lama berkecimpung di dunia militer, aku mulai memikirkan keinginan untuk memiliki kehidupan berkeluarga. Padahal, sedari dulu aku belum pernah memikirkan hal ini, tapi seorang gadis cantik bernama Mariatni mencuri perhatianku. Ia merupakan puteri Mr. Besar Martokusomo yang berdomisili di Jakarta dan merupakan seorang tokoh yang tidak asing bagi pemerintahan Indonesia.

Aku dan Mariatni  saling jatuh cinta dan melangsungkan pernikahan pada tanggal 2 Juli 1950. Kami berbulan madu di Belanda, dan sekaligus kesana untuk menjalankan tugasku sebagai Atase Militer RI. Melalui pernikahan ini aku dikarunai 5 anak, yaitu Bob Haryanto, Haryanti Mirya, Rianto Nurhadi, Adri Prambanto, dan Endah Marina.

Suatu hari, aku sedang menyiram bunga anggrek di pekarangan rumahku. Lalu, Bob si sulung mendatangiku.

"Pak, bagaimana sih bentuk senjata itu?" tanya anakku tiba-tiba.

Aku sedikit terkejut mendengar pertanyaannya. "Memangnya kenapa kamu tiba-tiba menanyakan hal itu?"

"Ya penasaran saja. Kata temanku bentuknya bagus, aku juga mau lihat. Kenapa bapak tidak pernah membawa senjata itu ke rumah?" tanyanya lagi.

Aku tertawa. "Ya memang bagus. Tapi karena bentuknya bagus, bapak tidak mau bawa ke rumah. Bagaimana kalau senjata itu dimainkan adik-adikmu? Kan bahaya," jawabku.

"Memang seberbahaya apa, Pak?"

"Kalau salah digunakan bisa menyakiti kamu dan adikmu, bahkan bisa menyakiti ibu dan bapak. Kamu tidak mau kan hal itu terjadi?"

Bob segera menggeleng.

"Maka dari itu bapak tidak mau bawa senjata itu pulang"

Mendengar itu, Bob yang tadinya menggeleng langsung mengangguk paham. Ia segera kembali ke dalam rumah.

Sejak masuk dunia militer dan menjalin rumah tangga, aku memang tidak pernah membawa senjata apapun ke rumah. Aku takut jika itu bisa menjadi mainan anak-anakku. Apalagi anak-anakku yang masih kecil, mereka belum tau seberapa berbahayanya senjata itu. 

Seperti biasa, aku menjalani kehidupanku. Aku mulai menyadari bahwa ternyata hidup menjadi seorang tentara tidak semulus yang aku harapkan. Setelah kemerdekaan, banyak partai-partai yang mulai bermunculan. Salah satunya adalah PKI (Partai Komunis Indonesia).

PKI sering melontarkan ide-ide yang dirasa cukup beresiko. Seperti halnya ide untuk membentuk angkatan lima dengan mempersenjatai para kaum buruh dan kaum tani. Mendengar itu, aku sangat tidak setuju dan menolak ide tersebut. Penolakanku itu dilakukan karena aku takut adanya maksud lain dari PKI, yakni mengganti ideologi pancasila menjadi komunis.

Selain itu, menurut Ahmad Yani, salah satu anggota angkatan darat lain yang juga tidak setuju akan hal itu, mengatakan bahwa pembentukkan angkatan lima tidaklah efektif karena pasukan sipil bersenjata sudah ada dalam wujud pertahanan sipil atau HANSIP. Ahmad Yani juga menyebutkan bahwa bukan tidak mungkin angkatan lima dapat berbahaya bagi angkatan darat itu sendiri.

Setelah penolakanku dan beberapa anggota angkatan darat lainnya, banyak desas-desus perihal rencana penculikan terhadap sejumlah perwira dan jenderal yang dituduh terlibat dalam kelompok Dewan Jenderal, kelompok yang disebut-sebut tengah menggagas kudeta terhadap presiden Ir. Soearno.

Aku sering sekali diingatkan untuk terus waspada dan berhati-hati. Terutama oleh salah satu ajudanku.

"Bapak harus berjaga-jaga. Kabar mengenai rencana penculikan itu barangkali benar," ucap ajudanku.

"Buat apa? Saya dan keluarga tak perlu dijaga," jawabku. Bukannya aku tidak takut dan menghiraukan ucapan ujadanku, tapi aku enggan menggunakan fasilitas negara, termasuk fasilitas pengamanan yang sebenarnya memang diberikan kepadaku.

Namun suatu hari aku menuturkan sebuah petuah kepada anak sulungku, Bob.

"Bob, kalau kamu sudah besar nanti, sebaiknya hindarilah berpolitik. Karena politik itu sangat berbahaya. Politik itu mengahalalkan segala cara. Selagi kamu berada dalam suatu kelompok, kelompok  itu akan menganggapmu sebagai teman. Tetapi ketika kamu berpisah, kamu akan dianggap sebagai musuh. Persahabatan dan kebajikan yang telah kamu lakukan di masa yang sudah-sudah, akan mereka lupakan," ucapku. Bob yang mendengarnya terlihat kebingungan karena ini pertama kalinya aku membahas politik kepada anakku.

"Makanya kamu tidak perlu masuk politik. Masuk tentara boleh, tetapi masuk politik, sekali lagi, jangan!"

Aku bicara seperti itu bukan karena mengharapkan desas-desus itu untuk terjadi. Aku hanya berjaga kalau-kalau hal itu terjadi dan aku tidak bisa menyampaikan betapa bahayanya politik itu kepada anak-anakku.

Pada tanggal 1 Oktober 1965 dini hari, ternyata mimpi burukku benar-benar terjadi.  Pasukan Cakrabirawa mendatangi rumahku dengan mudah tanpa halangan. Dipimpin Sersan Mayor Boengkoes, pasukan itu datang dengan tujuan akan menjemputku. Istriku yang mendengar ketukan pintu, bergegas keluar kamar untuk melihat siapa yang datang larut malam begini.

"Bung Karno memanggil bapak. Ada rapat penting yang harus dihadiri bapak sekarang juga," ucap Boengkoes.

Mendengar tuturan itu, istriku bergegas kembali ke kamar untuk memberitahuku. Aku sudah tau betul bahwa akan terjadi hal buruk kepadaku hari ini. Akhirnya aku menyuruh istriku untuk mengunci pintu, mematikan seluruh lampu, dan mengatakan kepada pasukan itu agar kembali lagi pukul 8 pagi.

"Kamu harus segara pindah kamar dan bangunkan anak-anak, karena mereka akan membunuh saya. Pindahlah ke kamar depan beserta anak-anak," ucapku dengan berat hati. Tapi kepentingan keluargaku adalah yang utama.

Aku bersembunyi, lalu mendengar suara tembakan. Sepertinya mereka sudah tidak sabar karena tidak dibukakan pintu, lalu memaksa masuk dengan melepaskan tembakan ke arah pintu depan. Karena gelap, anggota cakrabirawa itu membawa kertas pembakaran untuk menjadi cahaya.

Tidak mau kehilangan kesempatan karena ruangan yang gelap, aku berusaha merebut senjata yang ia pegang, namun gagal. Aku langsung mencoba berlari dengan harapan bisa lolos dari mereka. Tapi sayangnya satu tembakan senjata api itu berhasil menghilangkan nyawaku.

Jasadku diseret, dibawa ke sebuah truk yang ternyata memang sudah mereka siapkan. Jasadku di sembunyikan di sebuah sumur bekas bersama dengan para jasad jenderal lainnya. Sejak itu, hidupku, harapanku, dan perjuanganku, terhenti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun