Mohon tunggu...
Popi Fitriani
Popi Fitriani Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - XII MIPA 2 - SMAN 1 Padalarang

don't compare urself to other.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Si Kepala Macan

27 November 2021   23:20 Diperbarui: 27 November 2021   23:35 558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source : Wikipedia "Mas Tirtodarmo Haryono"

Aku bicara seperti itu bukan karena mengharapkan desas-desus itu untuk terjadi. Aku hanya berjaga kalau-kalau hal itu terjadi dan aku tidak bisa menyampaikan betapa bahayanya politik itu kepada anak-anakku.

Pada tanggal 1 Oktober 1965 dini hari, ternyata mimpi burukku benar-benar terjadi.  Pasukan Cakrabirawa mendatangi rumahku dengan mudah tanpa halangan. Dipimpin Sersan Mayor Boengkoes, pasukan itu datang dengan tujuan akan menjemputku. Istriku yang mendengar ketukan pintu, bergegas keluar kamar untuk melihat siapa yang datang larut malam begini.

"Bung Karno memanggil bapak. Ada rapat penting yang harus dihadiri bapak sekarang juga," ucap Boengkoes.

Mendengar tuturan itu, istriku bergegas kembali ke kamar untuk memberitahuku. Aku sudah tau betul bahwa akan terjadi hal buruk kepadaku hari ini. Akhirnya aku menyuruh istriku untuk mengunci pintu, mematikan seluruh lampu, dan mengatakan kepada pasukan itu agar kembali lagi pukul 8 pagi.

"Kamu harus segara pindah kamar dan bangunkan anak-anak, karena mereka akan membunuh saya. Pindahlah ke kamar depan beserta anak-anak," ucapku dengan berat hati. Tapi kepentingan keluargaku adalah yang utama.

Aku bersembunyi, lalu mendengar suara tembakan. Sepertinya mereka sudah tidak sabar karena tidak dibukakan pintu, lalu memaksa masuk dengan melepaskan tembakan ke arah pintu depan. Karena gelap, anggota cakrabirawa itu membawa kertas pembakaran untuk menjadi cahaya.

Tidak mau kehilangan kesempatan karena ruangan yang gelap, aku berusaha merebut senjata yang ia pegang, namun gagal. Aku langsung mencoba berlari dengan harapan bisa lolos dari mereka. Tapi sayangnya satu tembakan senjata api itu berhasil menghilangkan nyawaku.

Jasadku diseret, dibawa ke sebuah truk yang ternyata memang sudah mereka siapkan. Jasadku di sembunyikan di sebuah sumur bekas bersama dengan para jasad jenderal lainnya. Sejak itu, hidupku, harapanku, dan perjuanganku, terhenti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun